KEMAJUAN PERADABAN ISLAM DI ANDALUSIA
PADA MASA DINASTI UMAYYAH II
I.
PENDAHULUAN
Di awal abad
ke-20, ketika dunia mengalami krisis minyak, perusahaan-perusahaan mobil kelas
dunia mulai menciptakan mobol-mobil yang irit bensin, tapi dengan mutu serta
kemewahan yang tetap terjaga. Ford menawarkan Granada, Cadillac menawarkan
Sevilla, dan Chrysler menawarkan Cordova. Gerangan apa yang menyebabkan
perusahaan-perusahaan Amerika itu memilih tiga kota di Spanyol Selatan, untuk
menanamkan dan menciptakan kesan mewah pada mobil yang mereka buat itu?
Granada, Sevilla, dan Cordova adalah tiga kota di Andalusia yang telah lama
masyhur karena kemahirannya dalam bidang kerajinan serta kehidupannya yang
menawan; sehingga belahan sebelah utara benua Afrika yang terletak di seberang
Selat Gilbraltar itu, disebut orang dengan “Sorga yang Hilang”, al Firdaus al-Mafqud Andalusia.[1]
Negeri
Andalusia (Spanyol) sejak abad VII M merupakan salah satu pondasi yang kuat
dari peradaban, kebudayaan dan pendidikan Islam, yang mulai dengan mempelajari
ilmu agama dan sastra, kemudian meningkat dengan mempelajari ilmu-ilmu akal.
Karena dalam waktu relatif singkat Cordova dapat menyaingi kota Baghdad dan
Cairo dalam bidang ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Dan pada masa Abdurrahman
III pada abad X M, negeri Andalusia telah mencapai puncak kemegahan dalam segi
materi dan maknawi serta memperoleh kekuatan dan kebesaran yang telah dicapai
oleh kerajaan-kerajaan di bagian Timur abad IX M.[2]
Sejak pertama
kali Islam menginjakkan kakinya di tanah Spanyol hingga jatuhnya kerajaan Islam
terakhir di sana sekitar tujuh setengah abad lamanya, Islam memainkan peranan
yang sangat besar, baik dalam bidang kemajuan inteklektual (filsafat, sains,
fikih, musik dan kesenian, bahasa dan sastra), kemegahan bangunan fisik
(Cordova dan Granada).[3] Cordova
yang merupakan ibu kota Spanyol merupakan kota paling gemerlap di Eropa, bahkan
kota-kota lainnya pun di Spanyol secara bersama-sama turut diharumkan oleh
kemakmuran dan kebudayaan Cordova. Sejarah panjang yang dilalui umat Islam di
Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam periode,[4] yaitu :
1.
Periode
Pertama (711-755 M)
Pada periode ini, Spanyol berada
di bawah pemerintahan wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah yang
berpusat di Damaskus. Stabilitas politik dan keamanan belum sempurna. Gangguan
internal dan eksternal masih sering terjadi; perselisihan elit penguasa,
perbedaan etnis dan golongan maupun dari kalangan non-muslim.
2.
Periode
Kedua (755-912 M)
Pada masa ini Spanyol dipimpin
oleh seorang yang bergelar amir (panglima atau gubernur) yang menyatakan
diri tidak tunduk kepada pusat
pemerintahan Islam yang berada di Baghdad. Amir pertama adalah Abdur Rahman I (ad-Dakhil). Pada masa ini
umat Islam di Spanyol memberi pengaruh yang besar dalam kemajuan peradaban dan
ilmu pengetahuan di Eropa, baik dalam bidang politik dan peradaban serta
pendidikan.
3.
Periode
Ketiga (912-1013 M)
Pada periode ini, Spanyol dipimpin
oleh seseorang yang bergelar “Khalifah”, dan Khalifah pertamanya adalah Abdul
Rahman III yang bergelar “An-Nashir”. Peradaban Islam di Spanyol mulai
memperlihatkan kemajuan dan kejayaan, sehingga dapat menyaingi Daulat
Ababasiyah di Baghdad.
4.
Periode
Keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini, Spanyol terpecah
menjadi lebih dari tiga puluh negara kecil di bawah perintah raja-raja golongan atau al-Mulukuth-Thawaif,
diantaranya yang berpusat di kota Sevilla, Cordova, Toledo dan sebagainya. Pada
masa ini umat Islam di Spanyol mengalami pertikaian internal.
5.
Periode
Kelima (1086-1248 M)
Pada periode ini, masih terdapat
dua dinasti yang menonjol, yaitu Dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan Dinasti
Muwahhidun (1146-1235 M). dalam beberapa dekade, umat Islam masih tetap
berkibar untuk sementara di tanah Spanyol, meski akhirnya jatuh ke tangan
Katolik.
6.
Periode
Keenam (1248-1492 M)
Pada periode ini, Islam hanya
berkuasa di daerah Granada, di bawah Dinasti Bani Ahmar. Pada masa ini
peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdul Rahman an-Nashir. Namun secara
politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Pada periode ini
adalah akhir dari eksistensi umat Islam di Spanyol.
Karena demikian
panjangnya, sekitar tujuh setengah abad, sejarah Islam di Andalusia ( yang
dalam makalah ini terkadang disebut juga dengan nama Spanyol), maka dalam
makalah ini pemakalah membatasi pembahasan mengenai peradaban Islam di
Andalusia hanya sekilas pada periode awal dan lebih lebih fokus pada periode
kedua dan ketiga saja. Meskipun tidak menutup kemungkinan pada periode
selainnya akan pemakah sedikit singgung jika dianggap ada relevansinya dengan
topik yang sedang di bahas.
II.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Masuknya Islam ke Andalusia
Dalam sejarah ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam, tanah Spanyol lebih banyak dikenal dengan nama Andalusia.
Andalusia adalah sebutan bagi semenanjung Iberia. Julukan Andalusia ini berasal
dari kata Vandalusia, artinya negeri bangsa Vandal, karena bagian
selatan semenanjung itu pernah dikuasai bangsa Vandal sebelum mereka diusir
oleh bangsa Gothia Barat pada abad V M. Daerah ini dikuasai oleh Islam setelah
penguasa Bani Umayyah merebut semenanjung ini dari bangsa Gothia Barat pada
masa Khalifah al-Walid ibn Abd al-Malik.[5]
Andalusia terletak di Benua Eropa Barat
Daya, dengan batas-batas di Timur dan Tenggara adalah Laut Tengah, di Selatan
Benua Afrika yang terhalang oleh Selat Gibraltar, di Barat Samudra Atlantik,
dan di Utara oleh Teluk Biscy. Pegunungan Pyrenia di Timur laut membatasi
Andalusia dengan Perancis.[6]
Kondisi sosial masyarakat Andalusia
menjelang penaklukan Islam sangat memperihatinkan. Masyarakat terpolarisasi ke
dalam 3 kelas sesuai dengan latar belakang sosialnya, yakni kelas penguasa,
terdiri dari raja, para pangeran, pembesar istana, pemuka agama, dan tuan tanah
besar, kelas 2 terdiri atas tuan-tuan tanah kecil, dan kelas 3 terdiri atas
para budak termasuk budak tani, penggembala, nelayan, pandai besi, orang Yahudi
dan kaum buruh dengan imbalan makan dua kali sehari.[7]
Menjelang penaklukan, kekuasaan Gothia Barat mengalami kemunduran akibat
perpecahan elite politik, penindasan penguasa Nasrani terhadap orang-orang
Yahudi, dan pembebanan pajak yang sangat memberatkan rakyat.[8]
Dalam prosek penaklukan Andalusia oleh
umat Islam terdapat tiga pahlawan Islam yang dikatakan paling berjasa memimpin
satuan-satuan pasukan kesana. Mereka adalah Tharif ibn Malik dan Thariq ibn
Ziyad., dan Musa ibn Nushair.[9] Pada awalnya Musa bin Nushair, Gubernur
Afrika Utara, mengutus Tharif bin Malik untuk memimpin pasukan ekspedisi yang
bertujuan menjajagi daerah-daerah sasaran. Ekspedisi ini berhasil, dan Tharif
kembali ke Afrika Utara membawa banyak Ghanimah. Yang kemudian disusul dengan
ekspedisi kedua yang dipimpin oleh Thariq bin Ziyad, dimana dia memimpin
pasukan tentara sebanyak 7.000 orang, tentara tersebut sebagian besar terdiri
atas orang Barbar. Pada tahun 711 M Thariq berlayar melalui Laut Tengah menuju
daratan Spanyol dan berhasil mendarat di sebuah bukit yang kemudian diberi nama
Gibraltar (Jabal Thariq).[10]
Pertempuran antara pasukan Thariq dan
tentara Spanyol di bawah pimpinan Raja Roderick pecah di dekat muara sungai
Salado (Lagund Janda) pada bulan Ramadhan 92 H / 19 Juli 711 M. Pertempuran itu
mengawali kemenanangan Thariq dalam pertempuran-pertempuran berikutnya, ampai
akhirnya Toledo, ibu kota Gothia Barat, dapat direbut pada bulan September
tahun itu juga.[11]
Kemudian Archidona dan Granada dapat ditundukkan, dan satu detasemen yang
dipimpin oleh Mughitr Ar-Rumi dapat menaklukkan kota Cordova yang kemudian
dijadikan ibu kota pemerintahan Islam.[12] Pada
bulan Juni 712 Musa berangkat ke Andalusia membawa 18.000 orang tentara dan
menyerang kota-kota yang belum ditaklukkan oleh Thariq sampai bulan Juni tahun
berikutnya. Di Kota kecil Talavera, Thariq menyerahkan kepemimpinan kepada
Musa. Pada saat itu pula Musa memaklumkan Andalusia menjadi bagian dari wilayah
kekuasaan Bani Umayyah I yang berpusat di Damaskus.[13]
Andalusia menjadi salah satu propinsi
dari Daulah Bani Umayyah I sampai tahun 132 H/750 M. Ketika Daulah Bani Umayyah
Damaskus runtuh pada tahun 132 H/750 M, Andalusia menjadi salah satu propinsi
dari Daulah Bani Abbasiyah sampai Abd al-Rahman bin Mu'awiyah, cucu Khalifah
Umayyah kesepuluh Hisyam ibn Abd al-Malik, memproklamirkan propinsi itu sebagai
negara yang berdiri sendiri pada tahun 138 H/756 M. Sejak proklamasi itu
Andalusia memasuki babak baru sebagai sebuah negara berdaulat di bawah
kekuasaan Bani Umayyah II yang beribu kota di Cordova sampai tahun 422 H/1031
M.[14]
B. Kemajuan Peradaban Islam di Andalusia pada Masa
Dinasti Umayyah II.
Masuknya Islam di Andalusia pada sekitar
permulaan abad ke-8 M, telah membuka cakrawala baru dalam sejarah Islam. Dalam
rentang waktu selama kurang lebih tujuh setengah abad, umat Islam di Andalusia
telah mencapai kemajuan yang pesat, baik di bidang ilmu pengetahuan maupun
kebudayaan. Berbagai disiplin ilmu berkembang pesat pada masa itu. Hal ini
ditandai dengan banyaknya bermunculan figur-figur ilmuwan yang cemerlang di
bidangnya masing-masing dan sampai sekarang, buah pikiran mereka menjadi
rujukan para akademisi, baik di Barat maupun di Timur.
Kemajuan peradaban di Andalusia pada
saat itu berimbas pada bangkitnya Renaisans dunia Barat pada abad
pertengahan. Spanyol merupakan pusat peradaban Islam yang sangat penting,
meyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu orang Eropa Kristen banyak belajar di
perguruan-perguruan tinggi Islam di sana. Islam menjadi “guru” bagi orang
Eropa. Karena itu kehadiran Islam di Spanyol banyak menarik perhatian para
sejarawan.[15]
Cordova sebagai ibu kota Spanyol merupakan pusat peradaban Islam yang tinggi
yang dapat menyamai kemasyhuran Baghdad di Timur dan Kairo di Mesir. Mengapa
demikian ? Sebab pada saat Islam mengalami kemajuan peradaban yang mengagumkan,
keadaan Eropa masih sangat terbelakang dan diliputi kegelapan, serta kebodohan.[16]
Andalusia adalah negeri yang subur.
Kesuburan itu mendatangkan penghasilan ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya
banyak menghasilkan pemikir. Masyarakat Andalusia merupakan masyarakat yang
majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan), al-Muwalladun
(orang-orang Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat Islam yang berasal
dari Afrika Utara), al-Shaqalibah[17]
(penduduk daerah antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan
Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran),
Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang
kehadiran Islam. Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham
intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalusia yang melahirkan
kebangkitan ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol.[18]
Pada tahun 756-1013 M. Islam di
Andalusia memberi pengaruh yang besar dalam kemajuan peradaban dan ilmu
pengetahuan di Eropa, baik dari segi politik maupun peradaban. Abdur Rahman
ad-Dakhil (756-788) mendirikan Masjid Cordova pada tahun 786 M dengan dana
80.000 dinar.[19] Hisyam I (788-796) berjasa dalam menegakkan
hukum Islam. Abdur Rahman an-Nashir ( 912-961 M) mendirikan Universitas
Cordova, dimana berbagai bidang studi dipelajari dilembaga pendidikan tersebut,
antara lain astronomi, geografi, kimia dan sejarah alam, matematika,
kedokteran, filsafat, hukum. Universitas ini mengambil tempat di masjid yang
telah dilengkapi dengan fasilitas asrama untuk siswa dan gurunya, air bersih
dan perlengkapan lainnya yang menghabiskan dana 261.357 dinar.[20] Dia
banyak membelanjakan buku yang diimpor dari Baghdad, termasuk buku-buku
Filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dia juga
merekrut para ahli (sarjana) dalam bidang sastra, ahli filsafat, sejarawan, dan
musisi agar mau pindah ke Cordova dengan insentif yang cukup tinggi.[21] Pada
tahun 936 M dia membangun kota satelit dengan nama salah seorang selirnya, al-Zahra,
disebuah bukit di pegunungan Sierra Morena sekitar tiga mil di sebelah
utara Cordova, serta membangun saluran air yang menembus gunung sepanjang 80
KM.[22] Hakam
II (961-976 M) dikenal sebagai pembaharu dalam bidang militer, dialah yang
memprakarsai tentara bayaran di Andalusia. Dia membuka 27 sekolah di Cordova,
yang semuanya berbasis di masjid, dan membebaskan seluruh siswanya dari biaya,
alias gratis. Sedangkan kesejahteraan guru atau ulama yang mengajar adalah
menjadi tanggung jawabnya.[23]
Tak berlebihan kiranya, jika Dozy,
sebagaimana dikutip oleh Dr. Faisal Ismail dalam bukunya yang berjudul Paradigma
Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis, menggambarkan kebudayaan Islam di Andalusia
dengan mengatakan :
In Andalusia nearly everyone could read and write, while
in Christian Europe persons in most exalted positions-unless they belonged to
the clergy-remained illiterate. (Di Andalusia hampir setiap orang dapat membaca
dan menulis, sementara di Eropa Kristen, orang-orang yang menduduki posisi
paling tinggi sekalipun-jika tidak termasuk kaum pendeta-masih buta huruf).[24]
Sungguh suatu pemandangan tiada tara,
bagaimana masa keagungan dan keanggunan kebudayaan Islam pada masa itu.
Pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan begitu pesat, terlalu cepat dan
dahsyat, sehingga menampilkan suatu pemandangan yang amat kontras ddengan
keadaan dan situasi di Eropa.
1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan.
Pemisahan Andalusia dari Baghdad secara
politis, tidak berpengaruh terhadap transmisi keilmuan dan peradaban antara
keduanya. Banyak muslim Andalusia yang menuntut ilmu di negeri Islam belahan
Timur itu, dan tidak sedikit pula ulama dari Timur yang mengembangkan ilmunya
di Andalusia. Oleh karena itu, pengaruh Timur cukup besar terhadap perkembangan
ilmu dan peradaban di Andalusia.[25]
Bidang ilmu pengetahuan dan ke-Islaman
yang berkembang saat itu antara lain Fiqh, Hadits, Tafsir, Ilmu Kalam, Ilmu
Sejarah, Tata Bahasa Arab, dan Filsafat.[26] Dalam
bidang Fiqh, kebanyakan umat Islam Andalusia adalah penganut madzhab Maliki.
Yang memperkenalkan madzhab ini disana adalah Ziyad ibn Abd al-Rahman.
Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pada masa Hisyam I ibn Abd al-Rahman.[27]
Tokoh lain yang tidak kalah populernya
dalam pengembangan Ilmu Fiqh di Andalusia ialah seorang sastrawan Abu bakar
Muhammad ibn Marwan ibn Zuhr (w. 422/1031), disamping Abu Muhammad Ali ibn Hazm
(w. 455/1063) penyusun al-fashl fi al-Milal wa al-Ahwa fi Nihal. [28]
Dalam bidang Hadits, penghafal Hadits yang
terkenal adalah Abu Abd al-Rahman al-Mukhallad (w. 276/887) yang belajar dari
para imam dan ulama Hadits di Timur. Selain al-Mukhallad tercatat pula Abu
Muhammad Qasim ibn Ashbagh dan Muhammad ibn Abd al-Malik ibn Aiman sebagai
ulama Hadits kenamaan pada masanya.[29]
Sedangkan dalam bidang Ilmu Qira'at, Abu Amr al Dani Utsman ibn Said
(w.444/1052) adalah ulama ahli Qira'at kenamaan dari Andalusia yang mewakili
generasinya. Ia telah menulis 120 buku, di antaranya al-Muqni'u wa
al-Taisir.[30]
Dalam bidang Filsafat, atas inisiatif
Al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam
jumlah besar, sehingga, Cordova dengan perpustakaan dan
universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat ilmu
pengetahuan di dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin Dinasti Bani
Umayyah II di
Andalusia ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar pada
masa sesudahnya.[31]
tokoh filsafat yang terkenal diantaranya adalah Ibnu Sina.[32]
Filsafat memasuki Andalusia sesudah abad
ke-3 H/ke-9 M. Sebagian salinan naskah kuno Rasa'il Ikhwan al-Shafa yang
terdapat di Eropa dianggap berasal dari Maslamah ibn Ahmad al-Majriti. Maslamah
adalah seorang ahli Matematika besar di Andalusia, dia hidup pada masa
pemerintahan Hakam II dan meninggal pada tahun 598 H/1003 M. Diantara para
pengikutnya adalah : Ibn al-Shafa, Zahwari, karmani dan Abu Muslim Umar ibn
Ahmad ibn Khaldun al-Hardhrami yang terkenal karena ilmu Matematika mereka.
Karmani dan Ibn Khaldun juga dikenal sebagai filosof.[33]
Tapi sebenarnya Filsafat telah memasuki
Andalusia jauh sebelum Rasa'il Ikhwan al-Shafa diperkenalkan di negeri
itu. Muhammad ibn Abdun al-Jabali pada tahun 347 h/952 M, belajar logika
bersama Abu Sulaim Muhammad ibn Thahir ibn Bahran al-Sijistani, dan kembali ke
Andalusia pada tahun 360 H/965 M.[34]
Sejalan dengan perkembangan Filsafat,
berkembang pula ilmu-ilmu lain. Ilmu pasti yang banyak digemari bangsa Arab
berpangkal dari buku India Sinbad yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab oleh Ibrahim al-Fazari pada tahun 154 H/771 M. Dengan perantaraan ini
bangsa Arab mengenal dan mempergunakan angka-angka India yang di Eropa lebih
dikenal dengan angka Arab. Sarjana Andalusia kenamaan dalam periode ini antara
lain Abu Ubaidah Muslim ibn Ubaidah al-Balansi, seorang astrolog dan ahli ilmu
hitung. Ia dikenal sebagai Shahib al-Qiblat, karena banyak sekali
mengerjakan shalat, adalah seorang alim mengenai gerakan bintang-bintang.[35]
lmu-ilmu kedokteran, musik, matematika,
astronomi, kimia dan lain-lain juga berkembang dengan baik. Abbas ibn Farnas,
termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi adalah orang pertama yang menemukan
pembuatan kaca dari batu. Ia juga menekuni ilmu pengetahuan alam dan kimia. Ilmu
kimia, baik kimia murni maupun kimia terapan adalah dasar bagi ilmu farmasi
yang erat kaitannya dengan ilmu kedokteran. Oleh karena itu as-Siba'i
mengatakan bahwa, ulama-ulama Arablah yang menciptakan apotek dan farmasi.[36] Ibrahim
ibn Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu
terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil
membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan
bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang
obat-obatan. Umm al-Hasan bint Abi Ja'far dan saudara perempuan al-Hafidz
adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.[37] Ahli
dalam bidang kedokteran lainnya adalah Yahya ibn Ishaq pada masa Abdullah ibn
Mundzir, al-Majriti pada masa al-Mustanshir, Abu Daud Sulaiman ibn Hassan pada
masa al-Mu'ayyad. Selain nama-nama tersebut, Abu al-Qasim al-Zahrawi yang di
barat dikenal dengan Abulcasis, memberi kesan tersendiri dalam dunia
kedokteran. Ia dikenal sebagai dokter bedah, perintis ilmu penyakit telinga dan
pelopor ilmu penyakit kulit. Karyanya yang berjudul al-Tashrif li Man 'Ajaza
an al-Ta'lif. Pada abad XII M telah diterjemahkan oleh Gerard of Cremona
dan dicetak ulang di Genoa (1497 M), Basle (1541 M) dan di Oxford (1778 M).
Beberapa abad lamanya buku tersebut menjadi literatur di
universitas-universitas Eropa.[38]
Ada suatu kejadian menarik yang
menunjukkan betapa dunia kedokteran di Andalusia (Cordova) jauh lebih maju dari
Eropa Kristen. Kasus ini terjadi ketika Don Sancho (955-967), raja kerajaan
Leon, melarikan diri ke Navarre karena kemelut politik dlam negerinya. Sancho
menderita penyakit aneh : “penyakit kegemukan”, hingga badannya terasa sangat berat. Karena penyakit itulah ia
kemudian dijuluki “Sancho the Fat” (Sancho si Gemuk). Ketika melarikan diri ke
Navarre, Sancho mendapat anjuran dari raja Navarre, Don Garcia II (925-970),
agar ia mohon bantuan kepada dokter istana Khalifah Abdurrahman III karena para
dokter dalam wilayah Kristen tidak mampu mengobati jenis penyakit demikian.
Akhirnya dengan cairan ramuan-ramuan tertentu maka dalam waktu singkat iapun
terbebas dari gumpalan-gumpalan daging yang keterlaluan itu, dan iapun kembali
kepada keringanan dan kelincahan seperti sediakala.[39]
Dalam bidang sejarah, sejarawan yang terkemuka
antara lain Abu Marwan abd al-Malik ibn Habib (w. 238/852), seorang penyair
yang juga ahli dalam ilmu Nahw dan Arudl, serta juga mempelajari Hadits dan
Fiqh Maliki di Timur. Ia menulis sebuah buku sejarah yang berjudul al-Tarikh.[40] Tokoh
lainnya yaitu Yahya ibn Hakam, Abu Bakar Muhammad ibn Umar yang lebih dikenal
dengan Ibn al-Quthiyah (w. 367/977), pengarang buku Tarikh Iftitah
al-Andalus, dan Hayyan ibn Khallaf ibn Hayyan (w. 469/1076),
pengarang buku al-Muqtabis fi Tarikh Rijal al-Andalus dan al-Matin.[41]
Masih banyak lagi sejarawan terkenal
lainnya, seperti Abu al-Walid Abdullah, Ibn Rabbih, Ibn Hazm dan lain-lain.
Yang menarik adalah bahwa setiap sarjana pada waktu itu dapat mahir bahkan
menjadi ahli dalam berbagai cabang ilmu. Seorang filosof misalnya, secara
serentak ia juga seorang astronomer, penyair atau musikus; seorang sejarawan
bisa menjadi ahli Fiqh, ahli bahasa, theolog, dokter, ahli filsafat dan
sebagainya. Hal ini dikarenakan, “penuntutan ilmu di dalam dunia kuno dari Abad
Pertengahan – teristimewa dunia Islam- jauh berkurang spesialisasinya,
dibanding dengan kebiasaan orang zaman sekarang.
Prestasi umat Islam dalam memajukan ilmu
pengetahuan tidak diperoleh secara kebetulan, melainkan dengan kerja keras
melalui beberapa tahapan sistem pengembangan. Mula-mula penerjemahan
kitab-kitab klasik Yunani, Romawi, India dan Persia, kemudian dilakukan
pensyarahan dan komentar terhadap terjemahan-terjemahan tersebut, sehingga
lahir komentator-komentator Muslim kenamaan. Setelah itu dilakukan koreksi
terhadap teori-teori yang sudah ada, yang acapkali melahirkan teori baru
sebagai hasil renungan pemikir-pemikir Muslim sendiri. Oleh karena itu, umat
Islam tidak hanya berperan sebagai jembatan penghubung warisan budaya lama dari
zaman klasik ke zaman baru, melainkan telah berjasa pula menemukan teori-teori
baru. Terlalu banyak teori orisinil temuan mereka, yang besar sekali artinya
sebagai dasar ilmu pengetahuan modern. Tahapan-tahapan ini terbatas dalam
pengembangan ilmu aqliyah, tidak dalam ilmu naqliyah.[42]
Cordova yang oleh Philip K. Hitti
dijuluki “Mutiara Dunia”, pada masa al-Hakam II, yang lebih dikenal dengan nama
al-Mustanshir, memiliki tidak kurang 800 buah sekolah, 70 perpustakaan pribadi
di samping perpustakaan umum..[43]
Al-Mustanshir konon berhasil
mengumpulkan buku sebanyak 400.000 eksemplar untuk perpustakaannya, baik dengan
cara membeli maupun menyalin dari naskah aslinya. Untuk keperluan itu ia telah
mengirim agen-agennya ke Iskandariyah, Damaskus maupun Baghdad. Judul-judul
buku itu dimuat dalam katalog yang terdiri dari 44 bagian; setiap bagian memuat
20 halaman tentang karangan yang merupakan syair. Ketika ia mendengar bahwa di
Irak Abu al-Faraj al-Isbahani sedang menyusun kitab al-Aghani, ia
mengirimkan 1.000 dinar kepada pengarangnya untuk mendapatkan copy pertama dari
buku tersebut. Oleh karena itu “kitab al-Aghani ini lebih dulu dibaca
orang Andalusia daripada di Irak di mana pengarangnya berada.[44] Cara
lain yang ditempuhnya untuk memajukan kehidupan intelektual dan kultural ialah
dengan mengundang para sarjana, cendekiawan dan para profesional untuk datang
ke istana dengan memperoleh hadiah atau imbalan lebih dari layaknya. Hitti
mencatat bahwa di bawah pemerintahan al-Hakam, Universitas Cordova meningkat
menjadi suatu pusat yang terbaik di antara lembaga-lembaga pendidikan di dunia.
Ia mengungguli baik Universitas al-Azhar maupun Nizamiyah di Baghdad dan
menarik para mahasiswa, baik Kristen maupun Muslim, tidak saja dari Spanyol
tetapi juga dari berbagai penjuru Eropa.[45]
2. Perkembangan Kota dan seni Bangunan
Penduduk Andalusia, baik Muslim maupun
bukan, memperoleh kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam pembangunan
negara. Oleh karena itu, Bani Umayyah II (756-1031 M) yang merupakan inti
kekuatan Islam di Andalusia, menjadikan Cordova menjadi ibu kota negara di
bawah pemerintahan Abdur Rahman al-Dakhil yang memerintah tahun 756-788 M.
Sejak itu Cordova mulai melangkah maju dan akhirnya mampu menempatkan Cordova
sejajar dengan Konstantinopel dan Baghdad sebagai pusat peradaban dunia.[46]
Dalam pembangunan fisik, umat Islam di
Andalusia telah membuat bangunan-bangunan fasilitas, seperti perpustakaan yang
jumlahnya sangat banyak, irigasi pertanian,
istana-istana, masjid yang besar-besar dan megah setrta tempat pemandian
dan taman-taman yang kesemuanya dipersatukan dalam kota yang ditata secara
teratur.[47]
Sebagai ilustrasi mengenai keadaan di
Andalusia saat itu jika dibandingkan dengan keadaan di London dan Paris
sebagaimana dicatat Hitti :
... kira-kira abad ke-10, Cordova adalah kota kebudayaan
ternama di Eropa. Jumlah rumahnya sebanyak 113.000 rumah, kota depannya 21
buah, perpustakaannya 70 buah, dan toko-toko bukunya banyak tak terhitung,
masjid-masjid dan istananya membuat nama kota itu menjadi harum semerbak dan
dikagumi oleh dunia internasional serta mendapat penghormatan dari tiap-tiap
pengunjungnya. Para pengunjung kota itu selalu gembira karena jalan-jalan di
sana dibatui dan disinari lampu-lampu rumah sepanjang jalan di waktu malam. Ini
semua telah merupakan hal-hal yang biasa di kota Cordova pada waktu itu,
sedangkan di kota London, 700 tahun kemudian, hampir-hampir belum ada sebuah
lentera pun yang didapati di jalan-jalan di sana, dan di kota Paris,
berabad-abad kemudian, dalam musim hujan, lumpur tebalnya sampai ke mata kaki,
bahkan juga sampai ke ambang-ambang rumah.[48]
Namun
demikian, pembangunan-pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan
gedung-gedung, seperti pembangunan kota,
istana, masjid, pemukiman dan taman-taman. Diantaranya : masjid Cordova, Istana
al-Zahra, pembangunan kota dan pembangunan irigasi.
a. Masjid Cordova
Masjid Cordova didirikan oleh Abdur
Rahman al-Dakhil pada tahun 170 H/786 M dengan dana 80.000 dinar.[49]
Kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh keturunan-keturunannya atau
penggantinya, seperti Abdur Rahman II disamping memperluas masjid, juga membuat
mihrab baru. Al-Hakam II, juga mengadakan penambahan-penambahan dan
penyelesaian pembangunannya disekitar tahun 961 M. Jadi, pembuatan dan
penyelesaian Masjid Cordova memakan waktu hampir 200 tahun.[50] Masjid
Cordova dibangun dengan arsitektur yang sangat indah dan bernilai tinggi.
Menurut al-Bithuni, panjang masjid dari utara ke selatan adalah 175 meter,
sedangkan lebarnya dari barat ke timur 134 meter. Masjid ini memiliki sebuah
menara yang tingginya 20 meter terbuat dari marmer dan sebuah kubah besar yang
didukung oleh 300 buah pilar yang terbuat dari marmer pula. Di sekeliling kubah
besar itu terdapat 19 buah kubah kecil. Di muka mihrab terdapat empat buah
tiang dari batu pualam yang berdiri bertentangan, dua berwarna hijau dan dua
lagi berwarna biru. Bangunan ini tidak seluruhnya beratap, melainkan ada
sebagian yang sengaja terbuka supaya cahaya dan udara segar dapat masuk ke
ruangan sebanyak-banyaknya. Atap masjid didukung oleh 1.293 tiang pualam
bertahtakan permata, sedangkan talangnya
yang berjumlah 280 buah terbuat dari perak murni. Di tengah masjid terdapat
tiang agung yang menyangga 1000 buah lentera. Ada sembilan buah pintu yang
dimiliki masjid ini, semuanya terbuat dari tembaga, kecuali pintu maqshurah
yang terbuat dari emas murni. Ketika Cordova jatuh ke tangan Fernando III pada
tahun 1236, masjid ini dijadikan gereja dengan nama Santa Maria, tetapi di
kalangan masyarakat Spanyol lebih populer dengan sebutan la Mezquita,
berasal dari bahasa Arab al-Masjid.[51]
Menurut Lukman Hakim, ketika beliau
mengunjungi Cordova di bulan September tahun 1984, mengatakan bahwa, Masjid
Cordova memiliki 52 altar, baik altar besar maupun kecil. Karena itu, orang
Spanyol menyebutnya dengan nama “Mesquita-Cathedral” atau “Masjid-Gereja”.
Masjid ini termasuk salah satu masjid terbesar di seluruh dunia. Masjid Cordova
hanya kalah besar dengan Masjid Haram di Makkah. Masjid Cordova mempunyai
halaman yang luas, ditanami ddengan rumput-rumput dan tumbuh-tumbuhan. Dekat
halaman itu, terdapat ruang-ruang sekolah yang merupakan kesatuan dengan
masjid. Ruangan-ruangan sekolah, dulunya, adalah Universitas Cordova atau
Universitas Islam di Cordova, yang sangat terkenal itu. Sekarang,
ruangan-ruangan sekolah itu masih tetap dipergunakan untuk sekolah, tapi
sekolah Katolik. Walaupun Masjid Cordova telah berumur lebih dari 1.000 tahun,
tapi secara keseluruhan, masjid tersebut tetap utuh dan baik, seperti
sediakala.[52]
b. Istana al-Zahra
Selain Masjid Cordova, pada masa Islam
berjaya di Andalusia dibangun pula sebuah istana yang sangat indah dan sangat
megah yang bernama “Istana al-Zahra” atau “Kota Satelit al-Zahra”
Pada masa Abdur Rahman III yang terkenal
dengan nama al-Nashir (912-961 M), dibangun sebuah kota satelit dengan nama
salah seorang selirnya, al-Zahra, di sebuah bukit di pegunungan Sierra Morena
sekitar tiga mil di sebelah utara Cordova. Menurut al-Idrisi, al-Zahra terdiri
atas tiga bagian yang masing-masing dipisahkan oleh pagar tembok. Bagian atas
terdiri atas istana-istana dan gedung-gedung negara lainnya, bagian tengah
adalah taman dan tempat rekreasi, sedangkan di bagian bawah terdapat
rumah-rumah, toko-toko, masjid-masjid dan bangunan umum lainnya. Istana-istana
al-Zahra di bagian atas itu, yang terbesar di antaranya diberi nama Dar
al-Raudlah.[53]
Pembangunan istana tersebut memakan
waktu selama 40 tahun (936-976 M), 25 tahun semasa al-Nashir dan diselesaikan
pada masa puteranya, Hakam II, yang bergelar
al-Mustanshir. Setiap harinya menyerap tenaga kerja sekitar 10.000 orang
dan 1.500 hewan pengangkut. Marmer yang diperlukan di datangkan dari Numidia
dan Kartago, sedangkan sokoguru-sokogurunya dan bak-bak berukir emas dari
Konstantinopel. Arsitek dan tenaga ahli banyak didatangkan dari luar negeri,
termasuk dari Konstantinopel dan Baghdad.[54]
Istana ini dilengkapi dengan taman indah
yang di sela-selanya mengalir air dari gunung, danau-danau kecil berisi ikan
aneka warna dan sebuah taman margasatwa berisi aneka binatang buas dan berbagai
jenis burung serta satwa-satwa lainnya. Di dalam komplek ini terdapat sebuah
pabrik senjata dan pabrik perhiasan serta sebuah masjid berukuran 57 meter dan
lebar 30 meter. Masjid al-Zahra di bangun tidak beratap, selain pada mihrabnya.
Keistimewaan lainnya adalah kolam-kolam marmer buatan Konstantinopel berukir aneka macam
bentuk, sebagian di antaranya berlapis emas. Satu di antara kolam-kolam itu
berukir relief manusia, diletakkan di kamar tidur al-Nashir. Di atas kolam itu
diletakkan patung-patung emas bertahtakan permata buatan Cordova, yang
memancarkan air dari masing-masing mulutnya. Patung singa, kijang dan buaya
yang ditata sejajar, berhadapan dengan patung ular, rajawali dan gajah. Di
kedua samping patung-patung itu diletakkan patung merpati, domba, merak, ayam
betina, ayam jantan dan burung nasar.[55]
Menurut Zia Pasya, sejarawan
berkebangsaan Turki, melukiskan keindahan istana al-Zahra sebagai mukjizat
zaman yang belum pernah tergambar dalam benak pembangunan manapun sejak dunia
ada, dan belum pernah terbetik dalam akal segala insinyur sejak akal itu
diciptakan.[56]
Istana al-Zahra merupakan salah satu istana yang paling indah di Eropa pada
masa itu. Tapi sayang, istana tersebut dihancurkan pada tahun 1010 M. Ketika
pemerintah Spanyol sedang melakukan usaha-usaha rekonstruksi istana itu.[57]
c. Pembangunan Irigasi
Selain membangun istana al-Zahra,
al-Nashir juga membangun saluran air yang menembus gunung sepanjang 80 KM,
karena Wadi al-Kabir yang mengailiri al-Zahra dan Cordova pada musim kemarau
airnya tidak bisa diminum. Penggalian saluran air ini selesai pada tahun 329
H/940 M.[58]
Sistem irigasi baru diperkenalkan oleh
umat Islam pada masyarakat Andalusia yang tidak mengenal sebelumnya. Dam-dam,
kanal-kanal, saluran sekunder, tersier, dan jembatan-jembatan air didirikan. Tempat-tempat
yang tinggi, dengan begitu, juga mendapat jatah air. Orang-orang Arab
memperkenalkan pengaturan hidrolik untuk tujuan irigasi. Kalau dam dipergunakan
untuk mengecek curah air, waduk (kolam) dibuat untuk konservasi (penyimpanan
air). Pengaturan hidrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda air (water
wheel) asal Persia yang dinamakan na'urah (Spanyol : Noria). Di samping
itu, orang-orang Islam juga memperkenalkan pertanian padi, perkebunan jeruk,
kebun-kebun, dan tanam-tanaman.[59]
Sebagai akhir dari pembahasan tentang
perkembangan kota dan seni bangunan di Andalusia pada masa Dinasti Umayyah II,
akan penulis sampaikan tentang jumlah penduduk dan bangunan di kota Cordova
yang merupakan ibu kota negara.
Jumlah penduduk Cordova kira-kira
500.000 orang, sedangkan rumahnya berjumlah 13.000 buah, tidak termasuk
istana-istana megah, daerah pinggiran, 300 buah pemandian umum dan 3.000 buah
masjid. Tidak ada satu kota pun yang menandingi Cordova pada waktu itu selain
Baghdad. Sedangkan menurut Jurji Zaidan, penduduk Cordova (termasuk daerah
pinggiran) pada masa al-Manshur ibn Abi Amir kira-kira dua juta orang. Bangunannya berjumlah
124.503 buah, terdiri dari 113.000 rumah penduduk, 430 buah istana, 6.300 rumah
pegawai negeri, 3.873 buah masjid dan 900 buah pemandian umum.[60] Hal
yang tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Hitti, ketika
menggambarkan keadaan Cordova sebagaimana telah penulis kutip di atas.
Dan sekarang, kalau kita berkeliling ke
kota Cordova, kita masih banyak akan menyaksikan bekas-bekass kejayaan Islam.
Masih ada tempat pemandian umum, parit-parit air, taman-taman dan sebagainya.
Masjid yang jumlahnya sekian banyak itu semuanya telah berubah menjadi gereja.
Mudah saja nampaknya merubah masjid menjadi gereja, yaitu bulan sabit yang
biasanya ada di menara-menara di buat dan ditukar dengan palang salib. Begitu
pula di menara, digantungkan lonceng. Dengan demikian, berubahlah masjid
menjadi gereja.
Sekarang, (Lukman Hakim menulis kisah
perjalanan ini yakni bulan September tahun 1984) penduduk Cordova hanyalah
berjumlah 200.000 jiwa. Dan di antara mereka, tidak akan kita temui seorang pun
yang menganut agama Islam. Karena memang pada waktu kalahnya Cordova dan
direbut oleh Katolik, tidak ada tempat bagi orang Islam di sana. Sikap keras
orang-orang Katolik itu, tidak hanya terhadap orang-orang Islam, juga terhadap
buku-buku Islam, yang mereka hancurkan.[61]
3. Perkembangan Bahasa dan Sastra Arab
Bahasa Arab masuk ke Andalusia bersamaan
dengan masuknya Islam ke daratan itu. Sejalan dengan kemajuan yang diraih oleh
umat Islam, bahasa Arab dipelajari oleh berbagai kelompok penduduk dan lapisan
sosial, sehingga menggeser peran bahasa lokal dan menembus batas-batas keagamaan. Kemenangan bahasa Arab
atas bahasa penduduk asli yang ditaklukkan, menurut Philip K. Hitti, didahului
oleh kemenangan bangsa Arab dalam bidang kemiliteran, politik dan keagamaan.
Sebelum menjadi bahasa pergaulan sehari-hari, bahasa Arab lebih dahulu mencapai
kemenangan sebagai bahasa ilmu pengetahuan.[62]
Bahasa Arab telah menjadi bahasa
administrasi dalam pemerintahan Islam di Andalusia. Hal itu dapat diterima oleh
orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan penduduk asli Andalusia menomorduakan
bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab,
baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain : Ibn
Sayyidih, Ibn Malik pengarang Alfiyah, Ibn Khuruf, Ibn al-Hajj, Abu Ali
al-Isybili, Abu al-Hasan ibn Usfur, dan
Abu Hayyan al-Gharnathi.[63]
Dozy, sebagaimana dikutip oleh Syalabi,
mengemukakan bahwa orang Spanyol telah meninggalkan bahasa Latin dan melupakannya. Seorang
pendeta di Cordova mengeluh, karena di kalangan mereka hampir tidak ada yang
mampu membaca Kitab Suci yang berbahasa Latin, bahkan setiap cendekiawan muda
hanya mengetahui dan memahami bahasa Arab. Selanjutnya Syalabi mengutip
keterangan Nicholson, bahwa pada permulaan abad IX M bahasa Arab sudah menajdi
bahasa resmi di Andalusia. Pada waktu itu seorang pendeta dari Sevilla
menerjemahkan Taurat ke dalam bahasa Arab, karena hanya bahasa Arab yang dapat
dimengerti oleh murid-muridnya untuk memahami Kitab Suci agama mereka.[64] Sejalan
dengan perkembangan bahasa Arab, berkembang pula kesusasteraan Arab, baik dalam
bentuk puisi maupun prosa.
Berangkat dari kenyataan tersebut,
lahirlah para tokoh atau pakar dalam bahasa dan sastra, seperti al-Qali dengan
karyanya al-Kitab al-Bari fi al-Luqoh.[65] Karya
tulis lainnya yang juga bernilai tinggi, yang terkenal adalah al-Amali dan
al-Nawadir.[66]
Di antara sastrawan terkemuka Andalusia
adalah Abu Amr Ahmad ibn Muhammad ibn Abd Rabbih, lahir di Cordova 246 H/860 M.
Ia menekuni ilmu kedokteran dan musik, tetapi kecenderungannya lebih banyak
kepada sastra dan sejarah. Pada masa al-Nashir ia menggubah 440 bait syair
dengan menggunakan bahan acuan sejarah.[67]
Sastrawan terkenal lainnya adalah Ibn Syuhaid (382-427 H) dan Ibn Hazm (384-455
H). Ibn Hazm adalah seorang penyair sufi
yang banyak menggubah puisi-puisi cinta yang dihimpun dalam sebuah antologi “Permata
Seorang Dara”, berisi gambaran aspek-aspek percintaan dari pengalamannya
sendiri dan penggalaman orang lain. Kedua orang sastrawan terkemuka itu sempat
menyaksikan keruntuhan Khilafah Umayyah II dan meratapi Istana Cordova
ketika dilanda kehancuran.[68]
Dalam bidang musik dan seni suara,
indikasi kemajuannya adalah berdirinya sekolah musik di Cordova oleh Ziryab, seorang maula dari Irak yang
nama aslinya adalah Hasan ibn Nafi. Keahliannya dalam seni musik dan tarik
suara, pengaruhnya masih membekas sampai sekarang, bahkan ia dianggap sebagai
peletak dasar dari musik Spanyol modern. Tidak diingkari, baik oleh sarjana
Barat maupun Timur, bahwa orang Arab pula yang memperkenalkan not: do, re, mi,
fa. Sol, la, si. Bunyi-bunyi itu diambil dari huruf-huruf Arab: Dal, Ra, Mim,
Fa', Shad, Lam, Sin.[69]
4. Perkembangan Tata Pemerintahan dan
Kemiliteran
Sejak pertama kali Islam menginjakkan
kakinya di tanah Andalusia hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana,
Islam memainkan peranan yang sangat besar dalam membangun citra budaya dan
peradaban kemanusiaan di wilayah ini. Masa ini berlangsung selama hampir tujuh
setengah abad (711-1429 M), yang secara garis besar di bagi menjadi enam
periode, sebagaimana yang telah di bahas pada bab pendahuluan.
Yang perlu digaris bawahi di sini
adalah, ketika kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad yang berdiri pada tahun 750 M,
amir-amir Andalusia yang dulu beraviliasi di bawah sistem kekhalifahan Umayyah
I, tidak lagi terikat pada hegemoni politik. Amir-amir wilayah Andalusia dalam
kondisi cukup liar, tidak terawasi oleh kekhalifahan pusat. Akan tetapi, proses
kepemimpinan umat, terus berlanjut dan penerapan hukum Islam berjalan.
Sekalipun amir-amir ini secara de yure mengakui keberadaan sistem
kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, tetapi secara de facto dan politis,
tidak mau mengikatkan diri pada pada
kekhalifahan baru di Baghdad. Baru pada tahun 755 M ketika Abdur Rahman
al-Dakhil berkuasa, ia menghapuskan nama Khalifah Abbasiyah dari
khotbah-khotbah Jum'at yang biasa dilakukan oleh gubernur sebelumnya, serta
memproklamasikan wilayah itu lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Sekalipun begitu
ia menyebut dirinya hanya sebagai “amir al-Mukminin” saja daripada
menyebut dirinya sebagai “khalifah”, padahal semuanya pada saat itu
serba sangat memungkinkan untuk dilakukannya. Ia tampaknya lebih tertarik pada
persoalan substansi dalam melakukan kepemimpinan yang real di tengah-tengah
kehidupan umatnya, daripada “sibuk” dengan persoalan penyebutan gelar
“khalifah”, sebagai gelar kepemimpinan spiritual yang acap kali dalam
kenyataannya terkadang lebih bersifat simbolik saja.[70]
Al-Dakhil berhasil meletakkan sendi
dasar yang kokoh bagi tegaknya Dinasti Umayyah II di Andalusia. Gelar amir
tetap dipertahankan sampai pada masa pemerintahan Abdur Rahman III (300-350
H/912-961 M) yang memproklamasikan diri sebagai khalifah, dan menambahkan gelar
al-Nashir dibelakang namanya.[71] Pada
masa al-Nashir inilah Bani Umayyah II mencapai puncak kejayaan dan masih
dipertahankan di bawah kepemimpinan Hakam II al-Mustanshir.
Sistem pergantian atau suksesi
kepemimpinan di Andalusia tidak jauh berbeda dengan sistem yang berlaku pada
masa Dinasti Umayyah I di Damaskus, yakni dengan jalan para amir/khalifah yang
sedang berkuasa sudah menunjuk dan menentukan penggantinya. Mereka ini disebut
sebagai putra mahkota atau waliyul 'ahdy (pengganti yang dijanjikan).
Jika kelak amir/khalifah yang sedang berkuasa ini meninggal dunia, secara
langsung ia akan menggantikannya. Tradisi seperti ini, bukan ciptaan tradisi
Arab atau Barbar, tapi mungkin berasal dari tradisi Romawi yang biasa disebut monarki
absolut. Biasanya dalam tradisi Arab atau Barbar, pemilihan kepala-kepala
kabilah atau suku lebih bersifat terbuka dan demokratis.[72]
Ketika Andalusia di pimpin oleh seorang Amir, Amir Andalus
sebagai pemerintah pusat di Andalusia yang berkedudukan di Istana Cordova
adalah sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang memilki kewenangan
sangat besar dan luas. Ia dibantu oleh seorang hajib yang diangkatnya
sebagai orang kepercayaan utama, dan bertanggungjawab penuh kepada Amir Andalus
ini. Di bawah hajib ada lagi majelis wazir yang berfungsi untuk
menangani seluruh urusan teknis kelembagaan/departemen. Dalam hal ini, hajib
(perdana mentri) hanya
berfungsi sebagai penghubung antara amir pusat dengan majelis wazir (mentri
negara). Wazir-wazir inilah yang berfungsi sebagai tiang-tiang penyangga
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Adapun pembagian bidang-bidang tugas
para wazir saat ini adalah :
1).
wazir yang
mengurusi kehartabendaan negara;
2).
wazir yang
mengurusi administrasi negara/surat menyurat;
3).
wazir yang
mengurusi pengaduan tindakan madzalim/hukum;
4).
wazir yang
mengurusi pelabuhan (thuqur), sekarang syahbandr pelabuhan dan
perhubungan laut.[73]
Untuk menjalankan tugas pemerintahan daerah,
amir pusat menunjuk seorang gubernur daerah yang disebut wali. Pada saat itu
amir Andalusia mempunyai enam wilayah provinsi atau kewalian. Para wali wilayah
ini juga dibantu lembaga ketertiban dan keamanan masyarakat yang disebut :
1).
Shahib
al-Shurthah, badan yang diberi kewenangan dan
bertanggungjawab dalam menangani keamanan dan ketertiban sosial (polisi).
2).
Shahib
al-Madzalim, badan yang bertugas menampung berbagai
pengaduan dari tindakan kezaliman, seperti penganiayaan dan sebagainya.
3).
Shahib
al-Muhtasib, aparatur negara yang bertugas dalam
bidang-bidaang pengawasan kesusilaan, perjudian, perdagangan, timbangan dan
takaran (meterologi).[74]
Dalam memimpin umatnya, amir di bantu
juga oleh seorang Qadhi al-Qadhat (hakim agung) untuk menegakkan hukum
di pemerintahan pusat, sedangkan seorang qadhi (hakim) tingkat daerah
berwenang dalam menangani persoalan hukum di daerahnya masing-masing. Para qadhi
ini ditunjuk oleh amir pusat, dan bertanggung jawab kepada amir melalui qadhi
qudhat.[75]
a. Lembaga Peradilan
Lembaga peradilan dalam pemerintahan
Islam (khalifah) di Andalusia ini menempati posisi sangat penting, bahkan dapat
dikatakan hampir sebanding dengan kewenangan khalifah sendiri dalam memberikan
dan menetapkan keputusan-keputusan; keputusan politik ada pada khalifah,
sedangkan keputusan hukum ada di tangan para hakim (qadhi).
Secara umum, baik pada masa keamiran
maupun kekhalifahan Umayyah II di Andalusia, menjadi seorang qodhi telah
dinggap sebagai jabatan karier yang cukup tinggi di negeri ini. Kewenangan
kebijakannya sangat independen, tidak terikat sama sekali dengan kepentingan para
amir atau khalifahnya. Secara moral, para amir atau khalifah tidak berani
mengatur keputusan hukum, kecuali kepada para hijabat dan wizarat-nya,
di mana seluruh kewenangannya selama ini berada langsung di bawah kendali
amir/khalifah.
b. Tugas Kelembagaan Negara Masa Kekhalifahan di
Andalusia
1.
Qadhi
al-Jama'ah, lembaga ini mempunyai tugas penting dalam
mengurusi hukum di pemerintahan pusat, terutama dalam haal persoalan pencatatan
waris, wasiat, wakaf, imam harian dan dua shalat 'Id di Masjid Agung Cordova,
serta menjadi saksi dan penengah dalam menangani berbagai pertikaian dan
mencatat isu-isu perkaranya.
2.
Shahib
al-Syurthah, yakni qadhi yang mengurus masalah-masalah
politik dan kriminal serta masalah-masalah sosial lainnya.
3.
Muhtasib, lembaga ini tugas pokoknya adalah melayani berbagai kepentingan umum,
terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut amar ma'ruf nahi
munkar.
4.
Hijabat dan Wizarat. Kedua lembaga ini sama dengan pada masa keamiran.
5.
Militer.
Pada masa Hisyam II, beliau membagi
angkatan perangnya menjadi dua, pertama, angkatan darat (al-jaisy) yang
terdiri dari pasukan bersenjata pedang dan tombak yang disebut musyat, pasukan
rumat (para pemanah), pasukan fursan atau kavaleri (para
penunggang kuda, berbaju besi dan berpedang). Kedua, angkatan laut yang
dijadikan tulang punggung kekuatan negara karena secara geografis wilayah
Andalusia dikelilingi oleh lautan. Adapun struktur militer pada masa itu
sebagai berikut :
1.
Tiap lima
ribu tentara (al-jaisy) dipimpin oleh seorang amir (panglima) dengan
simbol bendera sebagai lambang batalion, royyat.
2.
Dari
masing-masing lima ribu tentara, dibagi dalam masing-masing seribu pasukan yang
disebut kutaibah, dengan panji-panji bernama 'alam, masing-masing
dipimpin oleh seorang qo'id (komandan).
3.
Setiap seribu
personil (kutaibah) dibagi lima, masing-masing dua ratus personil yang
diberi nama al-qism dengan panji-panji yang bernama al-liwa', dipimpin
oleh seorang naqib sebagai komandannya.
4.
Tiap-tiap dua
ratus personil (al-qism) dibagi lima kelompok lagi dengan masing-masing
berjumlah empat puluh orang (al-qism) dengan panji-panji yang diberi
nama al-bundan, dan dipimpin oleh seorang 'arif sebagai
komandannya.
5.
Dari
tiap-tiap empat puluh orang personel yang dipimpin seorang 'arif, dibagi
lagi ke dalam lima kelompok dengan masing-masing berjumlah delapan orang dengan
panji-panji bernama al-ukdah, di bawah pimpinan seorang nazir sebagai
komandannya.[76]
Demikian gambaran umum pranata
kemiliteran yang berkembang pada masa Dinasti Umayyah II di Andalusia. Struktur
organisasinya sudah terbentuk sedemikian rapi dan jelas. Pengaturan seperti ini
sebenarnya telah berkembang sejak masa Umar bin Khattab yang mulai menyerap
sistem kemiliteran Romawi.
Dan sebagai akhir dari bab pembahasan
ini, perlu disampaikan bahwa, kemajuan pesat yang diraih umat Islam Andalusia -
khusunya dalam pembangunan ilmu pengetahuan dan kebudayaan - merupakan sebuah proses panjang yang didukung
oleh faktor kerja sama yang baik antara para sarjana dan intelektual Muslim
dengan didukung oleh kebijakan pemerintah serta kemampuan ekonomi serta
semangat keberagamaan dan persaudaraan yang kuat. Dari Andalusia inilah ilmu
pengetahuan dan peradaban Arab mengalir ke negara-negara Eropa Kristen, melalui
kelompok-kelompok terpelajar mereka yang pernah menuntut ilmu di Universitas
Cordova, Malaga, Granada, Sevilla atau lembaga-lembaga ilmu pengetahuan lainnya
di Andalusia dengan demikian besar sekali peranan Andalusia dalam mengantarkan
Eropa memasuki periode baru masa kebangkitan.
III.
ANALISIS
Ketika kita membicarakan mengenai
sejarah peradaban Islam di Andalusia, maka akan kita temukan bahwa Andalusia di
bawah kekuasaan Islam mengalami kemajuan yang pesat dan menajadi pusat
pengembangan ilmu pengetahuan sehingga menjadi tujuan pencari ilmu di abad
pertengahan. Andalusia merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam
menyerap ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam di sana serta
peradabannya, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian
dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa
Andalusia di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara
tetangganya di Eropa, terutama dalam
bidang pemikiran dan sains, di samping bangunan fisik.
Dari Andalusia kita juga menemukan
pelajaran berharga, bahwa tidak sepatutnya kita membuat dikotomi antara ilmu
pengetahuan umum dan ilmu agama. Karena pada prinsipnya semua ilmu bersumber
dari Allah. Seorang sejarawan pada masa Bani Umayyah II di Andalusia bisa
menjadi ahli Fiqh, ahli bahasa, theolog, dokter, ahli filsafat dan sebagainya.
Sains yang didukung dengan agama akan menjadikan dunia ini menjadi tentram dan
damai, karena sains dipergunakan seluruhnya untuk kemaslahatan manusia dalam
rangka mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Ilmuwan atau
pun cendekiawan yang taat beragama tidak akan mungkin melakukan mal-praktek
dalam bidang pekerjaan yang digelutinya. Dokter muslim tidak akan pernah mau
melakukan aborsi, yang tidak dibenarkan syari'at, berapapun imbalan yang akan
diperolehnya. Sebaliknya sains yang kering dari unsur agama akan dapat
menciptakan ketakutan dan kegelisahan bagi manusia. Kasus teknologi untuk
pembuatan senjata pemusnah massal, baik nuklir maupun senjata kimia, klonning
bagi manusia, serta yang lagi marak sekarang ini kejahatan cyber serta segala
bentuk penyalahgunaannya, adalah sekian contoh sains yang telah “bercerai”
dengan agama.
Hal penting yang perlu digaris bawahi
adalah bahwa perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan filsafat pada masa itu
tidak terlepas kaitannya dari kerjasama yang harmonis antara penguasa, hartawan dan ulama. Perkembangan
teknologi, kedokteran serta arsitektur bangunan dapat berkembang dengan cepat
dan dahsyat berkat dukungan penuh dari penguasa dan adanya peran serta
masyarakat, serta di dukung dengan terciptanya keamanan, kepastian hukum,
ekonomi yang stabil serta kesejahteraan dan kemakmuran di tengah-tengah
masyarakat. Sejarah telah mencatat, bahwa ketika Abdur Rahman III berkuasa, dia
telah menciptakan ketentraman di Cordova dan mewariskan kondisi amat berkembang.
Sepertiga dari penerimaan tahunan yang berjumlah 6.245.000[77] keping
emas cukup untuk menutupi anggaran belanja negara, selebihnya di peruntukan
bagi keperluan pengembangan pertanian, industri, dan perdagangan. Penerimaan
dari ekspor dan impor menempati kedudukan tertinggi dalam anggaran penerimaan
negara setiap tahunnya.
Pada waktu Islam masuk ke
Andalusia/Spanyol, seluruh Eropa sangat terbelakang di bidang ilmu dan
teknologi serta kebudayaan.
Islamlah yang membawa ilmu dan teknologi dalam berbagai
disiplin ilmu ke Spanyol yang kemudian berkembang ke seluruh Eropa. Orang
Islamlah yang memelopori membuat irigasi untuk berbagai keperluan, termasuk
pertanian, mengembangkan arsitektur bangunan yang sekarang terkenal sebagai
arsitektur “gaya Spanyol”, dan memelopori arsitektur pertamanan yang sangat
indah dan mengagumkan. Orang Islam pulalah yanag dikenal sebagai pelopor
merancang kota modern, atau “metropolitan” sekarang ini. Kota Cordova, contoh
kota paling baik dan lengkap di seluruh dunia kala itu. Penduduknya
diperkirakan 500.000 jiwa, dengan 21 buah kota satelit. Terdapat lebih kurang
3.000 masjid dan puluhan perpustakaan. Di malam hari, kota Cordova terang
benderang dengan banyaknya lampu jalan. Bayangkanlah kota-kota besar seperti
London dan Paris pada waktu itu, belum mengenal lampu penerang jalan.
Di zaman kejayaan Islam,
universitas-universitas di Andalusia seperti Universitas Cordova, Universitas
Sevilla dan lain-lain merupakan pusat ilmu pengetahuan dunia. Terdapat para
ahli terkemuka di berbagai bidang ilmu pengetahuan; kedokteran, matematika,
botani, ilmu falak, sastra dan sebagainya. Para mahasiswanya berdatangan dari
seluruh Eropa untuk belajar di universitas-universitas Islam tersebut.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
kemajuan peradaban Islam di Andalusia antara lain :
1.
Hubungan yang
harmonis antara penguasa, hartawan
dan ulama.
2.
Adanya figur
pemimpin yang dapat mempersatukan umat Islam di Andalusia dan memiliki
perhatian yang serius terhadap kemajuan peradaban Islam dan ilmu pengetahuan.
Seperti Abdur Rahman II (ad-Dakhil), Abdur Rahman II (an-Nashir) dan Hakam II.
3.
Terciptanya
stabilitas keamanan, dan kepastian hukum.
4.
Ekonomi yang
stabil serta adanya kesejahteraan dan kemakmuran di tengah-tengah masyarakat
Andalusia.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
kemunduran peradaban Islam di Andalusia antara lain :
1.
Terjadinya
perebutan kekuasaan dan adanya beberapa wilayah yang ingin memisahkan diri dari
kekuasaan Bani Umayyah II di Andalusia.
2.
Tidak adanya
figur pemimpin yang mampu mempersatukan umat Islam serta memiliki sikap
leadership yang baik dan kuat pasca kepemimpinan al-Mansyur.
3.
Pengangkatan
penguasa Islam di Andalusia tidak didasarkan pada kualitas pribadi, tetapi
berdasarkan hubungan keluarga dengan penguasa sebelumnya (monarki absolut).
4.
Umat Kristen
di Andalusia bersatu untuk merebut kembali Andalusia dari tangan umat Islam.
Mengungkap kembali kejayaan dan kebesaran Islam
dengan segala gemerlap pesona keemasan kebudayaannya tidak dimaksudkan agar
umat Islam terbuai dan terlena dalam mimpi dan nina bobo ayunan masa silam.
Sebab bagaimanapun kejayaan masa silam itu telah lama berakir. Telah menjadi
bagian dari sejarah. Mengungkap kembali kebesaran dan kejayaan kebudayaan Islam
di masa silam tak lain dimaksudkan agar umat Islam mempunyai kesadaran masa
lalu, kesadaran kultural, yang dapat dipakai sebagai jembatan dalam membangun
kembali pilar-pilar budaya masa kini dan masa depan. Merenungi dan menghayati
kembali kebesaran Islam dimasa silam dimaksudkan untuk mengambil hikmah bahwa
kejayaan dan kebesaran Islam pada masa lalu itu idak diperoleh secara
kebetulan, melainkan merupakan hasil usaha yang dilakukan secara giat, rajin,
tekun dan ulet oleh para sarjana Islam. Al-Nashir yang telah berhasil
mengantarkan Andalusia ke puncak kejayaan, menurut pernyataannya, mengalami
kebahagiaan hanya 14 hari selama hidupnya.[78]
Dengan mengungkap kembali masa keemasan
Islam di Andalusia, diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran dan kepercayaan diri
bahwa umat umat Islam pada masa jayanya pernah menjadi bangsa inventor dan
kreator dalam membangun peradaban umat manusia yang tidak akan pernah ada yang
dapat mengungguli bahkan menyamainya. Sehingga umat Islam sekarang ini
diharapkan mampu mengikis kemalasan berfikir dan berkreasi, sehingga akan
lahirlah cendekiawan-cendekiawan muslim yang mampu berfikir ilmiyah dengan
tetap berlandaskan diniyah.
Apa yang harus dikerjakan oleh umat
Islam dewasa ini agar menjadi golongan yang terrbaik dari manusia ? Al-Qur'an
telah menunjukkan sekaligus memberi motivasi bahwa Allah tidak akan mengubah
nasib suatu umat jika umat itu sendiri tidak bangkit mengubah dan membangun
nasibnya sendiri. Firman Allah dalam QS. Ar-Ra’du: 11
3
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ
Artinya : “ Sesungguhnya Allah tidak akan merobah keadaan
suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka
selain Dia”.[79]
Al-Qur'an telah memberi motivasi kepada umat
Islam untuk mencari kebahagiaan hidup di akhirat dengan tanpa melalaikan
kebahagiaan di dunia. Firman Allah dalam QS. Al-Qashash : 77
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù 9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( wur [Ys? y7t7ÅÁtR ÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJ2 z`|¡ômr& ª!$# øs9Î) ( wur Æ÷ö7s? y$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
Artinya : “ Dan carilah pada
apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.[80]
Ini berarti bahwa bekerja dan berusaha untuk
membangun kebudayaan dan peradaban yang maju, baik dan lestari merupakan tugas
setiap umat Islam, disamping harus berusaha untuk memperoleh kebahagiaan hidup
di akhirat nanti.
II.
PENUTUP
Sejak pertama kali Islam menginjakkan
kakinya di tanah Spanyol hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana
sekitar tujuh setengah abad lamanya, umat Islam telah mengalami kemajuan yang pesat dan menajadi
pusat pengembangan ilmu pengetahuan sehingga menjadi tujuan pencari ilmu di
abad pertengahan. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya telah
membawa Eropa dan kemudian dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks.
Kemajuan ilmu pengetahuan, filasafat dan
seni bahasa dan sastra, tidak lepas dari adanya
kerja sama yang harmonis antara penguasa, ulama dan hartawan serta peran
serta dari masyarakat. Sedangkan kemajuan dalam bentuk bangunan fisik merupakan
hasil kreasi dan inovasi para sarjana muslim yang didukung dengan terciptanya
keamanan dan kesejahteraan masyarakat yang terjamin.
Akhirnya, pemakalah berharap semoga
makalah ini dapat menjadi secercah cahaya untuk mengungkap masa kejayaan dan
kebesaran Islam dalam rangka mengambil hikmah untuk kebesaran Islam yang akan
datang. Karena sebagai seorang muslim, adalah menjadi kewajiban bagi kita untuk
kembali membawa umat Islam untuk menjadi golongan yang terbaik dari umat
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
As-Siba'i, Mustafa. Kebangkitan Kebudayaan
Islam. terj. Nabhan Husein. Jakarta: Media Dajwah, 1987.
Beg, M. Abdul Jabbar. (editor), Seni di Dalam Peradaban Islam, Bandung: Pustaka, 1988.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1-30 Edisi Baru, Surabaya , Mekar Surabaya,
2004.
Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, Jilid I. Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve. 1997.
Harun,
Lukman. Potret Dunia Islam. Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1985.
Ismail, Faisal. Paradigma
Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis. Editor : Mathori
Alwustho. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.
Karim, M.
Abdul. Sejarah Pemikiran dan
Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Maryam dkk. Siti.
Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: LESFI, 2004.
Nata, Abuddin.
(Ed.). Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Sunanto,
Musyrifah. Sejarah Islam Klasik
(Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam). Jakarta: Prenada Media, 2003.
Supriyadi, Dedi. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Suwito, et al., Sejarah Sosial Pendidikan Islam,
Jakarta: Prenada Media. 2005.
Syarif, M.M. Para
Filosof Muslim. editor: Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1998.
Thohir, Ajid. Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik,
dan Budaya Umat Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004.
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
[1] M. Abdul Jabbar Beg., M.A., Ph.D. (editor), Seni di Dalam Peradaban Islam, Bandung, Pustaka, 1988, hal. 120.
[2] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. (Ed.), Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode
Klasik dan Pertengahan, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 257.
[3] Prof. Dr. Suwito, MA. et al., Sejarah Sosial Pendidikan Islam,
Jakarta, Prenada Media, 2005, hal. 111.
[4] Lihat : Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam :
Dirasah Islamiyah II, Jakarta, Rajawali Pers, 2008, hal. 93-99.
[5] Siti
Maryam, dkk., Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern,
Yogyakarta, LESFI, 2004, hal. 79.
[6] M.
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka
Book Publisher, 2007, hal. 227.
[12] Dedi Supriyadi, M.Ag., Op.Cit.
[13] Siti Maryam, dkk., Op.Cit.
[14] Ibid., hal. 80-81.
[15] Dr. Badri Yatim, M.A., Op.Cit., hal. 87.
[17] Maman A. Malik Sya'roni dalam sebuah tulisannya yang berjudul
“Peradaban Islam Masa Bani Umayyah II di Andalusia” menyebut golongan ini
dengan nama golongan Slavia (lihat : Siti Maryam, dkk., Op.Cit.,
hal. 83).
[21] Ibid., hal.
112.
[22] Siti Maryam, dkk., Op.Cit.,
hal. 86-87.
[24] Dr. Faisal Ismail,
MA., Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis, Editor
: Mathori Alwustho, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1997, hal. 234.
[25] Siti Maryam, dkk., Op.Cit.,
hal. 91.
[26] Prof. Dr. Hj.
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam), Jakarta, Prenada Media, 2003, hal. 125.
[27] Dr. Badri Yatim,
M.A., Op.Cit., hal. 103.
[28] Siti Maryam, dkk., Op.Cit.
[29] Ibid., hal.
92
[30] Ibid.
[31] Dr. Badri Yatim,
M.A., Op.Cit., hal. 101.
[32] Lebih lanjut mengenai Ibnu Sina dan pemikirannya,
baca : M.M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, editor: Ilyas Hasan,
Bandung, Mizan, 1998, hal. 101- 144.
[36] Mustafa As-Siba'i, Kebangkitan Kebudayaan Islam, terj. Nabhan
Husein, Jakarta, Media Dajwah, 1987, hal. 90.
[41] Ibid., hal.
94-95.
[42] Siti Maryam, dkk., Op.Cit.,
hal. 95.
[43] Ibid., hal.
96.
[49] Siti Maryam, dkk., Op.Cit.,
hal. 84.
[50] Lukman Harun, Potret
Dunia Islam, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1985, hal. 161.
[51] Siti Maryam, dkk., Op.Cit.,
hal. 84-85.
[56] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta,
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hal. 275.
[70] Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik,
dan Budaya Umat Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 61.
[71] Siti Maryam, dkk., Op.Cit.,
hal. 81.
[72] Ajid Thohir, Op.Cit.,
hal. 65.
[77] Lihat : Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit., hal. 275.
[78] Lihat : Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 87.
[79] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya Juz 1-30 Edisi Baru, Surabaya ,
Mekar Surabaya, 2004, hal. 337-338.