Monday, 28 December 2015

KEMAJUAN PERADABAN ISLAM DI ANDALUSIA PADA MASA DINASTI UMAYYAH II

KEMAJUAN PERADABAN ISLAM DI ANDALUSIA
PADA MASA DINASTI UMAYYAH II

I.          PENDAHULUAN
Di awal abad ke-20, ketika dunia mengalami krisis minyak, perusahaan-perusahaan mobil kelas dunia mulai menciptakan mobol-mobil yang irit bensin, tapi dengan mutu serta kemewahan yang tetap terjaga. Ford menawarkan Granada, Cadillac menawarkan Sevilla, dan Chrysler menawarkan Cordova. Gerangan apa yang menyebabkan perusahaan-perusahaan Amerika itu memilih tiga kota di Spanyol Selatan, untuk menanamkan dan menciptakan kesan mewah pada mobil yang mereka buat itu? Granada, Sevilla, dan Cordova adalah tiga kota di Andalusia yang telah lama masyhur karena kemahirannya dalam bidang kerajinan serta kehidupannya yang menawan; sehingga belahan sebelah utara benua Afrika yang terletak di seberang Selat Gilbraltar itu, disebut orang dengan “Sorga yang Hilang”, al Firdaus al-Mafqud Andalusia.[1]
Negeri Andalusia (Spanyol) sejak abad VII M merupakan salah satu pondasi yang kuat dari peradaban, kebudayaan dan pendidikan Islam, yang mulai dengan mempelajari ilmu agama dan sastra, kemudian meningkat dengan mempelajari ilmu-ilmu akal. Karena dalam waktu relatif singkat Cordova dapat menyaingi kota Baghdad dan Cairo dalam bidang ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Dan pada masa Abdurrahman III pada abad X M, negeri Andalusia telah mencapai puncak kemegahan dalam segi materi dan maknawi serta memperoleh kekuatan dan kebesaran yang telah dicapai oleh kerajaan-kerajaan di bagian Timur abad IX M.[2]
Sejak pertama kali Islam menginjakkan kakinya di tanah Spanyol hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana sekitar tujuh setengah abad lamanya, Islam memainkan peranan yang sangat besar, baik dalam bidang kemajuan inteklektual (filsafat, sains, fikih, musik dan kesenian, bahasa dan sastra), kemegahan bangunan fisik (Cordova dan Granada).[3] Cordova yang merupakan ibu kota Spanyol merupakan kota paling gemerlap di Eropa, bahkan kota-kota lainnya pun di Spanyol secara bersama-sama turut diharumkan oleh kemakmuran dan kebudayaan Cordova. Sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam periode,[4] yaitu :
1.      Periode Pertama (711-755 M)
Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Stabilitas politik dan keamanan belum sempurna. Gangguan internal dan eksternal masih sering terjadi; perselisihan elit penguasa, perbedaan etnis dan golongan maupun dari kalangan non-muslim.
2.      Periode Kedua (755-912 M)
Pada masa ini Spanyol dipimpin oleh seorang yang bergelar amir (panglima atau gubernur) yang menyatakan diri tidak tunduk kepada pusat  pemerintahan Islam yang berada di Baghdad. Amir pertama adalah Abdur Rahman I (ad-Dakhil). Pada masa ini umat Islam di Spanyol memberi pengaruh yang besar dalam kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan di Eropa, baik dalam bidang politik dan peradaban serta pendidikan.
3.      Periode Ketiga (912-1013 M)
Pada periode ini, Spanyol dipimpin oleh seseorang yang bergelar “Khalifah”, dan Khalifah pertamanya adalah Abdul Rahman III yang bergelar “An-Nashir”. Peradaban Islam di Spanyol mulai memperlihatkan kemajuan dan kejayaan, sehingga dapat menyaingi Daulat Ababasiyah di Baghdad.
4.      Periode Keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negara kecil di bawah perintah raja-raja golongan atau al-Mulukuth-Thawaif, diantaranya yang berpusat di kota Sevilla, Cordova, Toledo dan sebagainya. Pada masa ini umat Islam di Spanyol mengalami pertikaian internal.
5.      Periode Kelima (1086-1248 M)
Pada periode ini, masih terdapat dua dinasti yang menonjol, yaitu Dinasti Murabithun (1086-1143 M) dan Dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). dalam beberapa dekade, umat Islam masih tetap berkibar untuk sementara di tanah Spanyol, meski akhirnya jatuh ke tangan Katolik.
6.      Periode Keenam (1248-1492 M)
Pada periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah Granada, di bawah Dinasti Bani Ahmar. Pada masa ini peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdul Rahman an-Nashir. Namun secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Pada periode ini adalah akhir dari eksistensi umat Islam di Spanyol.
Karena demikian panjangnya, sekitar tujuh setengah abad, sejarah Islam di Andalusia ( yang dalam makalah ini terkadang disebut juga dengan nama Spanyol), maka dalam makalah ini pemakalah membatasi pembahasan mengenai peradaban Islam di Andalusia hanya sekilas pada periode awal dan lebih lebih fokus pada periode kedua dan ketiga saja. Meskipun tidak menutup kemungkinan pada periode selainnya akan pemakah sedikit singgung jika dianggap ada relevansinya dengan topik yang sedang di bahas.
II.     PEMBAHASAN
A. Sejarah Masuknya Islam ke Andalusia
Dalam sejarah ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, tanah Spanyol lebih banyak dikenal dengan nama Andalusia. Andalusia adalah sebutan bagi semenanjung Iberia. Julukan Andalusia ini berasal dari kata Vandalusia, artinya negeri bangsa Vandal, karena bagian selatan semenanjung itu pernah dikuasai bangsa Vandal sebelum mereka diusir oleh bangsa Gothia Barat pada abad V M. Daerah ini dikuasai oleh Islam setelah penguasa Bani Umayyah merebut semenanjung ini dari bangsa Gothia Barat pada masa Khalifah al-Walid ibn Abd al-Malik.[5]
Andalusia terletak di Benua Eropa Barat Daya, dengan batas-batas di Timur dan Tenggara adalah Laut Tengah, di Selatan Benua Afrika yang terhalang oleh Selat Gibraltar, di Barat Samudra Atlantik, dan di Utara oleh Teluk Biscy. Pegunungan Pyrenia di Timur laut membatasi Andalusia dengan Perancis.[6]
Kondisi sosial masyarakat Andalusia menjelang penaklukan Islam sangat memperihatinkan. Masyarakat terpolarisasi ke dalam 3 kelas sesuai dengan latar belakang sosialnya, yakni kelas penguasa, terdiri dari raja, para pangeran, pembesar istana, pemuka agama, dan tuan tanah besar, kelas 2 terdiri atas tuan-tuan tanah kecil, dan kelas 3 terdiri atas para budak termasuk budak tani, penggembala, nelayan, pandai besi, orang Yahudi dan kaum buruh dengan imbalan makan dua kali sehari.[7] Menjelang penaklukan, kekuasaan Gothia Barat mengalami kemunduran akibat perpecahan elite politik, penindasan penguasa Nasrani terhadap orang-orang Yahudi, dan pembebanan pajak yang sangat memberatkan rakyat.[8]
Dalam prosek penaklukan Andalusia oleh umat Islam terdapat tiga pahlawan Islam yang dikatakan paling berjasa memimpin satuan-satuan pasukan kesana. Mereka adalah Tharif ibn Malik dan Thariq ibn Ziyad., dan Musa ibn Nushair.[9]  Pada awalnya Musa bin Nushair, Gubernur Afrika Utara, mengutus Tharif bin Malik untuk memimpin pasukan ekspedisi yang bertujuan menjajagi daerah-daerah sasaran. Ekspedisi ini berhasil, dan Tharif kembali ke Afrika Utara membawa banyak Ghanimah. Yang kemudian disusul dengan ekspedisi kedua yang dipimpin oleh Thariq bin Ziyad, dimana dia memimpin pasukan tentara sebanyak 7.000 orang, tentara tersebut sebagian besar terdiri atas orang Barbar. Pada tahun 711 M Thariq berlayar melalui Laut Tengah menuju daratan Spanyol dan berhasil mendarat di sebuah bukit yang kemudian diberi nama Gibraltar (Jabal Thariq).[10]
Pertempuran antara pasukan Thariq dan tentara Spanyol di bawah pimpinan Raja Roderick pecah di dekat muara sungai Salado (Lagund Janda) pada bulan Ramadhan 92 H / 19 Juli 711 M. Pertempuran itu mengawali kemenanangan Thariq dalam pertempuran-pertempuran berikutnya, ampai akhirnya Toledo, ibu kota Gothia Barat, dapat direbut pada bulan September tahun itu juga.[11] Kemudian Archidona dan Granada dapat ditundukkan, dan satu detasemen yang dipimpin oleh Mughitr Ar-Rumi dapat menaklukkan kota Cordova yang kemudian dijadikan ibu kota pemerintahan Islam.[12] Pada bulan Juni 712 Musa berangkat ke Andalusia membawa 18.000 orang tentara dan menyerang kota-kota yang belum ditaklukkan oleh Thariq sampai bulan Juni tahun berikutnya. Di Kota kecil Talavera, Thariq menyerahkan kepemimpinan kepada Musa. Pada saat itu pula Musa memaklumkan Andalusia menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Bani Umayyah I yang berpusat di Damaskus.[13]
Andalusia menjadi salah satu propinsi dari Daulah Bani Umayyah I sampai tahun 132 H/750 M. Ketika Daulah Bani Umayyah Damaskus runtuh pada tahun 132 H/750 M, Andalusia menjadi salah satu propinsi dari Daulah Bani Abbasiyah sampai Abd al-Rahman bin Mu'awiyah, cucu Khalifah Umayyah kesepuluh Hisyam ibn Abd al-Malik, memproklamirkan propinsi itu sebagai negara yang berdiri sendiri pada tahun 138 H/756 M. Sejak proklamasi itu Andalusia memasuki babak baru sebagai sebuah negara berdaulat di bawah kekuasaan Bani Umayyah II yang beribu kota di Cordova sampai tahun 422 H/1031 M.[14]
B. Kemajuan Peradaban Islam di Andalusia pada Masa Dinasti Umayyah II.
 Masuknya Islam di Andalusia pada sekitar permulaan abad ke-8 M, telah membuka cakrawala baru dalam sejarah Islam. Dalam rentang waktu selama kurang lebih tujuh setengah abad, umat Islam di Andalusia telah mencapai kemajuan yang pesat, baik di bidang ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Berbagai disiplin ilmu berkembang pesat pada masa itu. Hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan figur-figur ilmuwan yang cemerlang di bidangnya masing-masing dan sampai sekarang, buah pikiran mereka menjadi rujukan para akademisi, baik di Barat maupun di Timur.
Kemajuan peradaban di Andalusia pada saat itu berimbas pada bangkitnya Renaisans dunia Barat pada abad pertengahan. Spanyol merupakan pusat peradaban Islam yang sangat penting, meyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu orang Eropa Kristen banyak belajar di perguruan-perguruan tinggi Islam di sana. Islam menjadi “guru” bagi orang Eropa. Karena itu kehadiran Islam di Spanyol banyak menarik perhatian para sejarawan.[15] Cordova sebagai ibu kota Spanyol merupakan pusat peradaban Islam yang tinggi yang dapat menyamai kemasyhuran Baghdad di Timur dan Kairo di Mesir. Mengapa demikian ? Sebab pada saat Islam mengalami kemajuan peradaban yang mengagumkan, keadaan Eropa masih sangat terbelakang dan diliputi kegelapan, serta kebodohan.[16]
Andalusia adalah negeri yang subur. Kesuburan itu mendatangkan penghasilan ekonomi yang tinggi dan pada gilirannya banyak menghasilkan pemikir. Masyarakat Andalusia merupakan masyarakat yang majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan), al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-Shaqalibah[17] (penduduk daerah antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalusia yang melahirkan kebangkitan ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol.[18]
Pada tahun 756-1013 M. Islam di Andalusia memberi pengaruh yang besar dalam kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan di Eropa, baik dari segi politik maupun peradaban. Abdur Rahman ad-Dakhil (756-788) mendirikan Masjid Cordova pada tahun 786 M dengan dana 80.000 dinar.[19]  Hisyam I (788-796) berjasa dalam menegakkan hukum Islam. Abdur Rahman an-Nashir ( 912-961 M) mendirikan Universitas Cordova, dimana berbagai bidang studi dipelajari dilembaga pendidikan tersebut, antara lain astronomi, geografi, kimia dan sejarah alam, matematika, kedokteran, filsafat, hukum. Universitas ini mengambil tempat di masjid yang telah dilengkapi dengan fasilitas asrama untuk siswa dan gurunya, air bersih dan perlengkapan lainnya yang menghabiskan dana 261.357 dinar.[20] Dia banyak membelanjakan buku yang diimpor dari Baghdad, termasuk buku-buku Filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dia juga merekrut para ahli (sarjana) dalam bidang sastra, ahli filsafat, sejarawan, dan musisi agar mau pindah ke Cordova dengan insentif yang cukup tinggi.[21] Pada tahun 936 M dia membangun kota satelit dengan nama salah seorang selirnya, al-Zahra, disebuah bukit di pegunungan Sierra Morena sekitar tiga mil di sebelah utara Cordova, serta membangun saluran air yang menembus gunung sepanjang 80 KM.[22] Hakam II (961-976 M) dikenal sebagai pembaharu dalam bidang militer, dialah yang memprakarsai tentara bayaran di Andalusia. Dia membuka 27 sekolah di Cordova, yang semuanya berbasis di masjid, dan membebaskan seluruh siswanya dari biaya, alias gratis. Sedangkan kesejahteraan guru atau ulama yang mengajar adalah menjadi tanggung jawabnya.[23]
Tak berlebihan kiranya, jika Dozy, sebagaimana dikutip oleh Dr. Faisal Ismail dalam bukunya yang berjudul Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis,  menggambarkan kebudayaan Islam di Andalusia dengan mengatakan :
In Andalusia nearly everyone could read and write, while in Christian Europe persons in most exalted positions-unless they belonged to the clergy-remained illiterate. (Di Andalusia hampir setiap orang dapat membaca dan menulis, sementara di Eropa Kristen, orang-orang yang menduduki posisi paling tinggi sekalipun-jika tidak termasuk kaum pendeta-masih buta huruf).[24]
Sungguh suatu pemandangan tiada tara, bagaimana masa keagungan dan keanggunan kebudayaan Islam pada masa itu. Pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan begitu pesat, terlalu cepat dan dahsyat, sehingga menampilkan suatu pemandangan yang amat kontras ddengan keadaan dan situasi di Eropa. 
1.  Perkembangan Ilmu Pengetahuan.
Pemisahan Andalusia dari Baghdad secara politis, tidak berpengaruh terhadap transmisi keilmuan dan peradaban antara keduanya. Banyak muslim Andalusia yang menuntut ilmu di negeri Islam belahan Timur itu, dan tidak sedikit pula ulama dari Timur yang mengembangkan ilmunya di Andalusia. Oleh karena itu, pengaruh Timur cukup besar terhadap perkembangan ilmu dan peradaban di Andalusia.[25]
Bidang ilmu pengetahuan dan ke-Islaman yang berkembang saat itu antara lain Fiqh, Hadits, Tafsir, Ilmu Kalam, Ilmu Sejarah, Tata Bahasa Arab, dan Filsafat.[26] Dalam bidang Fiqh, kebanyakan umat Islam Andalusia adalah penganut madzhab Maliki. Yang memperkenalkan madzhab ini disana adalah Ziyad ibn Abd al-Rahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi  pada masa Hisyam I ibn Abd al-Rahman.[27]
Tokoh lain yang tidak kalah populernya dalam pengembangan Ilmu Fiqh di Andalusia ialah seorang sastrawan Abu bakar Muhammad ibn Marwan ibn Zuhr (w. 422/1031), disamping Abu Muhammad Ali ibn Hazm (w. 455/1063) penyusun al-fashl fi al-Milal wa al-Ahwa fi Nihal. [28] 
Dalam bidang Hadits, penghafal Hadits yang terkenal adalah Abu Abd al-Rahman al-Mukhallad (w. 276/887) yang belajar dari para imam dan ulama Hadits di Timur. Selain al-Mukhallad tercatat pula Abu Muhammad Qasim ibn Ashbagh dan Muhammad ibn Abd al-Malik ibn Aiman sebagai ulama Hadits kenamaan pada masanya.[29] Sedangkan dalam bidang Ilmu Qira'at, Abu Amr al Dani Utsman ibn Said (w.444/1052) adalah ulama ahli Qira'at kenamaan dari Andalusia yang mewakili generasinya. Ia telah menulis 120 buku, di antaranya al-Muqni'u wa al-Taisir.[30]
Dalam bidang Filsafat, atas inisiatif Al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar, sehingga, Cordova dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin Dinasti Bani Umayyah II di Andalusia ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar pada masa sesudahnya.[31] tokoh filsafat yang terkenal diantaranya adalah Ibnu Sina.[32]
Filsafat memasuki Andalusia sesudah abad ke-3 H/ke-9 M. Sebagian salinan naskah kuno Rasa'il Ikhwan al-Shafa yang terdapat di Eropa dianggap berasal dari Maslamah ibn Ahmad al-Majriti. Maslamah adalah seorang ahli Matematika besar di Andalusia, dia hidup pada masa pemerintahan Hakam II dan meninggal pada tahun 598 H/1003 M. Diantara para pengikutnya adalah : Ibn al-Shafa, Zahwari, karmani dan Abu Muslim Umar ibn Ahmad ibn Khaldun al-Hardhrami yang terkenal karena ilmu Matematika mereka. Karmani dan Ibn Khaldun juga dikenal sebagai filosof.[33]
Tapi sebenarnya Filsafat telah memasuki Andalusia jauh sebelum Rasa'il Ikhwan al-Shafa diperkenalkan di negeri itu. Muhammad ibn Abdun al-Jabali pada tahun 347 h/952 M, belajar logika bersama Abu Sulaim Muhammad ibn Thahir ibn Bahran al-Sijistani, dan kembali ke Andalusia pada tahun 360 H/965 M.[34]
Sejalan dengan perkembangan Filsafat, berkembang pula ilmu-ilmu lain. Ilmu pasti yang banyak digemari bangsa Arab berpangkal dari buku India Sinbad yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ibrahim al-Fazari pada tahun 154 H/771 M. Dengan perantaraan ini bangsa Arab mengenal dan mempergunakan angka-angka India yang di Eropa lebih dikenal dengan angka Arab. Sarjana Andalusia kenamaan dalam periode ini antara lain Abu Ubaidah Muslim ibn Ubaidah al-Balansi, seorang astrolog dan ahli ilmu hitung. Ia dikenal sebagai Shahib al-Qiblat, karena banyak sekali mengerjakan shalat, adalah seorang alim mengenai gerakan bintang-bintang.[35]
lmu-ilmu kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain juga berkembang dengan baik. Abbas ibn Farnas, termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi adalah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Ia juga menekuni ilmu pengetahuan alam dan kimia. Ilmu kimia, baik kimia murni maupun kimia terapan adalah dasar bagi ilmu farmasi yang erat kaitannya dengan ilmu kedokteran. Oleh karena itu as-Siba'i mengatakan bahwa, ulama-ulama Arablah yang menciptakan apotek dan farmasi.[36] Ibrahim ibn Yahya al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umm al-Hasan bint Abi Ja'far dan saudara perempuan al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.[37] Ahli dalam bidang kedokteran lainnya adalah Yahya ibn Ishaq pada masa Abdullah ibn Mundzir, al-Majriti pada masa al-Mustanshir, Abu Daud Sulaiman ibn Hassan pada masa al-Mu'ayyad. Selain nama-nama tersebut, Abu al-Qasim al-Zahrawi yang di barat dikenal dengan Abulcasis, memberi kesan tersendiri dalam dunia kedokteran. Ia dikenal sebagai dokter bedah, perintis ilmu penyakit telinga dan pelopor ilmu penyakit kulit. Karyanya yang berjudul al-Tashrif li Man 'Ajaza an al-Ta'lif. Pada abad XII M telah diterjemahkan oleh Gerard of Cremona dan dicetak ulang di Genoa (1497 M), Basle (1541 M) dan di Oxford (1778 M). Beberapa abad lamanya buku tersebut menjadi literatur di universitas-universitas Eropa.[38]
Ada suatu kejadian menarik yang menunjukkan betapa dunia kedokteran di Andalusia (Cordova) jauh lebih maju dari Eropa Kristen. Kasus ini terjadi ketika Don Sancho (955-967), raja kerajaan Leon, melarikan diri ke Navarre karena kemelut politik dlam negerinya. Sancho menderita penyakit aneh : “penyakit kegemukan”, hingga badannya terasa  sangat berat. Karena penyakit itulah ia kemudian dijuluki “Sancho the Fat” (Sancho si Gemuk). Ketika melarikan diri ke Navarre, Sancho mendapat anjuran dari raja Navarre, Don Garcia II (925-970), agar ia mohon bantuan kepada dokter istana Khalifah Abdurrahman III karena para dokter dalam wilayah Kristen tidak mampu mengobati jenis penyakit demikian. Akhirnya dengan cairan ramuan-ramuan tertentu maka dalam waktu singkat iapun terbebas dari gumpalan-gumpalan daging yang keterlaluan itu, dan iapun kembali kepada keringanan dan kelincahan seperti sediakala.[39]
Dalam bidang sejarah, sejarawan yang terkemuka antara lain Abu Marwan abd al-Malik ibn Habib (w. 238/852), seorang penyair yang juga ahli dalam ilmu Nahw dan Arudl, serta juga mempelajari Hadits dan Fiqh Maliki di Timur. Ia menulis sebuah buku sejarah yang berjudul al-Tarikh.[40] Tokoh lainnya yaitu Yahya ibn Hakam, Abu Bakar Muhammad ibn Umar yang lebih dikenal dengan Ibn al-Quthiyah (w. 367/977), pengarang buku Tarikh Iftitah al-Andalus, dan Hayyan ibn Khallaf ibn Hayyan (w. 469/1076), pengarang buku al-Muqtabis fi Tarikh Rijal al-Andalus dan al-Matin.[41]
Masih banyak lagi sejarawan terkenal lainnya, seperti Abu al-Walid Abdullah, Ibn Rabbih, Ibn Hazm dan lain-lain. Yang menarik adalah bahwa setiap sarjana pada waktu itu dapat mahir bahkan menjadi ahli dalam berbagai cabang ilmu. Seorang filosof misalnya, secara serentak ia juga seorang astronomer, penyair atau musikus; seorang sejarawan bisa menjadi ahli Fiqh, ahli bahasa, theolog, dokter, ahli filsafat dan sebagainya. Hal ini dikarenakan, “penuntutan ilmu di dalam dunia kuno dari Abad Pertengahan – teristimewa dunia Islam- jauh berkurang spesialisasinya, dibanding dengan kebiasaan orang zaman sekarang.
Prestasi umat Islam dalam memajukan ilmu pengetahuan tidak diperoleh secara kebetulan, melainkan dengan kerja keras melalui beberapa tahapan sistem pengembangan. Mula-mula penerjemahan kitab-kitab klasik Yunani, Romawi, India dan Persia, kemudian dilakukan pensyarahan dan komentar terhadap terjemahan-terjemahan tersebut, sehingga lahir komentator-komentator Muslim kenamaan. Setelah itu dilakukan koreksi terhadap teori-teori yang sudah ada, yang acapkali melahirkan teori baru sebagai hasil renungan pemikir-pemikir Muslim sendiri. Oleh karena itu, umat Islam tidak hanya berperan sebagai jembatan penghubung warisan budaya lama dari zaman klasik ke zaman baru, melainkan telah berjasa pula menemukan teori-teori baru. Terlalu banyak teori orisinil temuan mereka, yang besar sekali artinya sebagai dasar ilmu pengetahuan modern. Tahapan-tahapan ini terbatas dalam pengembangan ilmu aqliyah, tidak dalam ilmu naqliyah.[42]
Cordova yang oleh Philip K. Hitti dijuluki “Mutiara Dunia”, pada masa al-Hakam II, yang lebih dikenal dengan nama al-Mustanshir, memiliki tidak kurang 800 buah sekolah, 70 perpustakaan pribadi di samping perpustakaan umum..[43] 
Al-Mustanshir konon berhasil mengumpulkan buku sebanyak 400.000 eksemplar untuk perpustakaannya, baik dengan cara membeli maupun menyalin dari naskah aslinya. Untuk keperluan itu ia telah mengirim agen-agennya ke Iskandariyah, Damaskus maupun Baghdad. Judul-judul buku itu dimuat dalam katalog yang terdiri dari 44 bagian; setiap bagian memuat 20 halaman tentang karangan yang merupakan syair. Ketika ia mendengar bahwa di Irak Abu al-Faraj al-Isbahani sedang menyusun kitab al-Aghani, ia mengirimkan 1.000 dinar kepada pengarangnya untuk mendapatkan copy pertama dari buku tersebut. Oleh karena itu “kitab al-Aghani ini lebih dulu dibaca orang Andalusia daripada di Irak di mana pengarangnya berada.[44] Cara lain yang ditempuhnya untuk memajukan kehidupan intelektual dan kultural ialah dengan mengundang para sarjana, cendekiawan dan para profesional untuk datang ke istana dengan memperoleh hadiah atau imbalan lebih dari layaknya. Hitti mencatat bahwa di bawah pemerintahan al-Hakam, Universitas Cordova meningkat menjadi suatu pusat yang terbaik di antara lembaga-lembaga pendidikan di dunia. Ia mengungguli baik Universitas al-Azhar maupun Nizamiyah di Baghdad dan menarik para mahasiswa, baik Kristen maupun Muslim, tidak saja dari Spanyol tetapi juga dari berbagai penjuru Eropa.[45]
2.  Perkembangan Kota dan seni Bangunan
Penduduk Andalusia, baik Muslim maupun bukan, memperoleh kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam pembangunan negara. Oleh karena itu, Bani Umayyah II (756-1031 M) yang merupakan inti kekuatan Islam di Andalusia, menjadikan Cordova menjadi ibu kota negara di bawah pemerintahan Abdur Rahman al-Dakhil yang memerintah tahun 756-788 M. Sejak itu Cordova mulai melangkah maju dan akhirnya mampu menempatkan Cordova sejajar dengan Konstantinopel dan Baghdad sebagai pusat peradaban dunia.[46]
Dalam pembangunan fisik, umat Islam di Andalusia telah membuat bangunan-bangunan fasilitas, seperti perpustakaan yang jumlahnya sangat banyak, irigasi pertanian,  istana-istana, masjid yang besar-besar dan megah setrta tempat pemandian dan taman-taman yang kesemuanya dipersatukan dalam kota yang ditata secara teratur.[47]
Sebagai ilustrasi mengenai keadaan di Andalusia saat itu jika dibandingkan dengan keadaan di London dan Paris sebagaimana dicatat  Hitti :
... kira-kira  abad ke-10, Cordova adalah kota kebudayaan ternama di Eropa. Jumlah rumahnya sebanyak 113.000 rumah, kota depannya 21 buah, perpustakaannya 70 buah, dan toko-toko bukunya banyak tak terhitung, masjid-masjid dan istananya membuat nama kota itu menjadi harum semerbak dan dikagumi oleh dunia internasional serta mendapat penghormatan dari tiap-tiap pengunjungnya. Para pengunjung kota itu selalu gembira karena jalan-jalan di sana dibatui dan disinari lampu-lampu rumah sepanjang jalan di waktu malam. Ini semua telah merupakan hal-hal yang biasa di kota Cordova pada waktu itu, sedangkan di kota London, 700 tahun kemudian, hampir-hampir belum ada sebuah lentera pun yang didapati di jalan-jalan di sana, dan di kota Paris, berabad-abad kemudian, dalam musim hujan, lumpur tebalnya sampai ke mata kaki, bahkan juga sampai ke ambang-ambang rumah.[48]
 Namun demikian, pembangunan-pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan gedung-gedung, seperti pembangunan  kota, istana, masjid, pemukiman dan taman-taman. Diantaranya : masjid Cordova, Istana al-Zahra, pembangunan kota dan pembangunan irigasi.
a. Masjid Cordova  
Masjid Cordova didirikan oleh Abdur Rahman al-Dakhil pada tahun 170 H/786 M dengan dana 80.000 dinar.[49] Kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh keturunan-keturunannya atau penggantinya, seperti Abdur Rahman II disamping memperluas masjid, juga membuat mihrab baru. Al-Hakam II, juga mengadakan penambahan-penambahan dan penyelesaian pembangunannya disekitar tahun 961 M. Jadi, pembuatan dan penyelesaian Masjid Cordova memakan waktu hampir 200 tahun.[50] Masjid Cordova dibangun dengan arsitektur yang sangat indah dan bernilai tinggi. Menurut al-Bithuni, panjang masjid dari utara ke selatan adalah 175 meter, sedangkan lebarnya dari barat ke timur 134 meter. Masjid ini memiliki sebuah menara yang tingginya 20 meter terbuat dari marmer dan sebuah kubah besar yang didukung oleh 300 buah pilar yang terbuat dari marmer pula. Di sekeliling kubah besar itu terdapat 19 buah kubah kecil. Di muka mihrab terdapat empat buah tiang dari batu pualam yang berdiri bertentangan, dua berwarna hijau dan dua lagi berwarna biru. Bangunan ini tidak seluruhnya beratap, melainkan ada sebagian yang sengaja terbuka supaya cahaya dan udara segar dapat masuk ke ruangan sebanyak-banyaknya. Atap masjid didukung oleh 1.293 tiang pualam bertahtakan  permata, sedangkan talangnya yang berjumlah 280 buah terbuat dari perak murni. Di tengah masjid terdapat tiang agung yang menyangga 1000 buah lentera. Ada sembilan buah pintu yang dimiliki masjid ini, semuanya terbuat dari tembaga, kecuali pintu maqshurah yang terbuat dari emas murni. Ketika Cordova jatuh ke tangan Fernando III pada tahun 1236, masjid ini dijadikan gereja dengan nama Santa Maria, tetapi di kalangan masyarakat Spanyol lebih populer dengan sebutan la Mezquita, berasal dari bahasa Arab al-Masjid.[51]
Menurut Lukman Hakim, ketika beliau mengunjungi Cordova di bulan September tahun 1984, mengatakan bahwa, Masjid Cordova memiliki 52 altar, baik altar besar maupun kecil. Karena itu, orang Spanyol menyebutnya dengan nama “Mesquita-Cathedral” atau “Masjid-Gereja”. Masjid ini termasuk salah satu masjid terbesar di seluruh dunia. Masjid Cordova hanya kalah besar dengan Masjid Haram di Makkah. Masjid Cordova mempunyai halaman yang luas, ditanami ddengan rumput-rumput dan tumbuh-tumbuhan. Dekat halaman itu, terdapat ruang-ruang sekolah yang merupakan kesatuan dengan masjid. Ruangan-ruangan sekolah, dulunya, adalah Universitas Cordova atau Universitas Islam di Cordova, yang sangat terkenal itu. Sekarang, ruangan-ruangan sekolah itu masih tetap dipergunakan untuk sekolah, tapi sekolah Katolik. Walaupun Masjid Cordova telah berumur lebih dari 1.000 tahun, tapi secara keseluruhan, masjid tersebut tetap utuh dan baik, seperti sediakala.[52]  
b. Istana al-Zahra  
Selain Masjid Cordova, pada masa Islam berjaya di Andalusia dibangun pula sebuah istana yang sangat indah dan sangat megah yang bernama “Istana al-Zahra” atau “Kota Satelit al-Zahra”
Pada masa Abdur Rahman III yang terkenal dengan nama al-Nashir (912-961 M), dibangun sebuah kota satelit dengan nama salah seorang selirnya, al-Zahra,  di sebuah bukit di pegunungan Sierra Morena sekitar tiga mil di sebelah utara Cordova. Menurut al-Idrisi, al-Zahra terdiri atas tiga bagian yang masing-masing dipisahkan oleh pagar tembok. Bagian atas terdiri atas istana-istana dan gedung-gedung negara lainnya, bagian tengah adalah taman dan tempat rekreasi, sedangkan di bagian bawah terdapat rumah-rumah, toko-toko, masjid-masjid dan bangunan umum lainnya. Istana-istana al-Zahra di bagian atas itu, yang terbesar di antaranya diberi nama Dar al-Raudlah.[53]
Pembangunan istana tersebut memakan waktu selama 40 tahun (936-976 M), 25 tahun semasa al-Nashir dan diselesaikan pada masa puteranya, Hakam II, yang bergelar  al-Mustanshir. Setiap harinya menyerap tenaga kerja sekitar 10.000 orang dan 1.500 hewan pengangkut. Marmer yang diperlukan di datangkan dari Numidia dan Kartago, sedangkan sokoguru-sokogurunya dan bak-bak berukir emas dari Konstantinopel. Arsitek dan tenaga ahli banyak didatangkan dari luar negeri, termasuk dari Konstantinopel dan Baghdad.[54]
Istana ini dilengkapi dengan taman indah yang di sela-selanya mengalir air dari gunung, danau-danau kecil berisi ikan aneka warna dan sebuah taman margasatwa berisi aneka binatang buas dan berbagai jenis burung serta satwa-satwa lainnya. Di dalam komplek ini terdapat sebuah pabrik senjata dan pabrik perhiasan serta sebuah masjid berukuran 57 meter dan lebar 30 meter. Masjid al-Zahra di bangun tidak beratap, selain pada mihrabnya. Keistimewaan lainnya adalah kolam-kolam marmer buatan Konstantinopel berukir aneka macam bentuk, sebagian di antaranya berlapis emas. Satu di antara kolam-kolam itu berukir relief manusia, diletakkan di kamar tidur al-Nashir. Di atas kolam itu diletakkan patung-patung emas bertahtakan permata buatan Cordova, yang memancarkan air dari masing-masing mulutnya. Patung singa, kijang dan buaya yang ditata sejajar, berhadapan dengan patung ular, rajawali dan gajah. Di kedua samping patung-patung itu diletakkan patung merpati, domba, merak, ayam betina, ayam jantan dan burung nasar.[55] 
Menurut Zia Pasya, sejarawan berkebangsaan Turki, melukiskan keindahan istana al-Zahra sebagai mukjizat zaman yang belum pernah tergambar dalam benak pembangunan manapun sejak dunia ada, dan belum pernah terbetik dalam akal segala insinyur sejak akal itu diciptakan.[56] Istana al-Zahra merupakan salah satu istana yang paling indah di Eropa pada masa itu. Tapi sayang, istana tersebut dihancurkan pada tahun 1010 M. Ketika pemerintah Spanyol sedang melakukan usaha-usaha rekonstruksi istana itu.[57]
c. Pembangunan Irigasi  
Selain membangun istana al-Zahra, al-Nashir juga membangun saluran air yang menembus gunung sepanjang 80 KM, karena Wadi al-Kabir yang mengailiri al-Zahra dan Cordova pada musim kemarau airnya tidak bisa diminum. Penggalian saluran air ini selesai pada tahun 329 H/940 M.[58]
Sistem irigasi baru diperkenalkan oleh umat Islam pada masyarakat Andalusia yang tidak mengenal sebelumnya. Dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder, tersier, dan jembatan-jembatan air didirikan. Tempat-tempat yang tinggi, dengan begitu, juga mendapat jatah air. Orang-orang Arab memperkenalkan pengaturan hidrolik untuk tujuan irigasi. Kalau dam dipergunakan untuk mengecek curah air, waduk (kolam) dibuat untuk konservasi (penyimpanan air). Pengaturan hidrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda air (water wheel) asal Persia yang dinamakan na'urah (Spanyol : Noria). Di samping itu, orang-orang Islam juga memperkenalkan pertanian padi, perkebunan jeruk, kebun-kebun, dan tanam-tanaman.[59] 
Sebagai akhir dari pembahasan tentang perkembangan kota dan seni bangunan di Andalusia pada masa Dinasti Umayyah II, akan penulis sampaikan tentang jumlah penduduk dan bangunan di kota Cordova yang merupakan ibu kota negara.
Jumlah penduduk Cordova kira-kira 500.000 orang, sedangkan rumahnya berjumlah 13.000 buah, tidak termasuk istana-istana megah, daerah pinggiran, 300 buah pemandian umum dan 3.000 buah masjid. Tidak ada satu kota pun yang menandingi Cordova pada waktu itu selain Baghdad. Sedangkan menurut Jurji Zaidan, penduduk Cordova (termasuk daerah pinggiran) pada masa al-Manshur ibn Abi Amir kira-kira dua juta orang. Bangunannya berjumlah 124.503 buah, terdiri dari 113.000 rumah penduduk, 430 buah istana, 6.300 rumah pegawai negeri, 3.873 buah masjid dan 900 buah pemandian umum.[60] Hal yang tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Hitti, ketika menggambarkan keadaan Cordova sebagaimana telah penulis kutip di atas.
Dan sekarang, kalau kita berkeliling ke kota Cordova, kita masih banyak akan menyaksikan bekas-bekass kejayaan Islam. Masih ada tempat pemandian umum, parit-parit air, taman-taman dan sebagainya. Masjid yang jumlahnya sekian banyak itu semuanya telah berubah menjadi gereja. Mudah saja nampaknya merubah masjid menjadi gereja, yaitu bulan sabit yang biasanya ada di menara-menara di buat dan ditukar dengan palang salib. Begitu pula di menara, digantungkan lonceng. Dengan demikian, berubahlah masjid menjadi gereja.
Sekarang, (Lukman Hakim menulis kisah perjalanan ini yakni bulan September tahun 1984) penduduk Cordova hanyalah berjumlah 200.000 jiwa. Dan di antara mereka, tidak akan kita temui seorang pun yang menganut agama Islam. Karena memang pada waktu kalahnya Cordova dan direbut oleh Katolik, tidak ada tempat bagi orang Islam di sana. Sikap keras orang-orang Katolik itu, tidak hanya terhadap orang-orang Islam, juga terhadap buku-buku Islam, yang mereka hancurkan.[61]
3.  Perkembangan Bahasa dan Sastra Arab
Bahasa Arab masuk ke Andalusia bersamaan dengan masuknya Islam ke daratan itu. Sejalan dengan kemajuan yang diraih oleh umat Islam, bahasa Arab dipelajari oleh berbagai kelompok penduduk dan lapisan sosial, sehingga menggeser peran bahasa lokal dan menembus batas-batas keagamaan. Kemenangan bahasa Arab atas bahasa penduduk asli yang ditaklukkan, menurut Philip K. Hitti, didahului oleh kemenangan bangsa Arab dalam bidang kemiliteran, politik dan keagamaan. Sebelum menjadi bahasa pergaulan sehari-hari, bahasa Arab lebih dahulu mencapai kemenangan sebagai bahasa ilmu pengetahuan.[62]
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Andalusia. Hal itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan penduduk asli Andalusia menomorduakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain : Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Alfiyah, Ibn Khuruf, Ibn al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan  ibn Usfur, dan Abu Hayyan al-Gharnathi.[63]
Dozy, sebagaimana dikutip oleh Syalabi, mengemukakan bahwa orang Spanyol telah meninggalkan bahasa Latin dan melupakannya. Seorang pendeta di Cordova mengeluh, karena di kalangan mereka hampir tidak ada yang mampu membaca Kitab Suci yang berbahasa Latin, bahkan setiap cendekiawan muda hanya mengetahui dan memahami bahasa Arab. Selanjutnya Syalabi mengutip keterangan Nicholson, bahwa pada permulaan abad IX M bahasa Arab sudah menajdi bahasa resmi di Andalusia. Pada waktu itu seorang pendeta dari Sevilla menerjemahkan Taurat ke dalam bahasa Arab, karena hanya bahasa Arab yang dapat dimengerti oleh murid-muridnya untuk memahami Kitab Suci agama mereka.[64] Sejalan dengan perkembangan bahasa Arab, berkembang pula kesusasteraan Arab, baik dalam bentuk puisi maupun prosa.
Berangkat dari kenyataan tersebut, lahirlah para tokoh atau pakar dalam bahasa dan sastra, seperti al-Qali dengan karyanya al-Kitab al-Bari fi al-Luqoh.[65] Karya tulis lainnya yang juga bernilai tinggi, yang terkenal adalah al-Amali dan al-Nawadir.[66]
Di antara sastrawan terkemuka Andalusia adalah Abu Amr Ahmad ibn Muhammad ibn Abd Rabbih, lahir di Cordova 246 H/860 M. Ia menekuni ilmu kedokteran dan musik, tetapi kecenderungannya lebih banyak kepada sastra dan sejarah. Pada masa al-Nashir ia menggubah 440 bait syair dengan menggunakan bahan acuan sejarah.[67] Sastrawan terkenal lainnya adalah Ibn Syuhaid (382-427 H) dan Ibn Hazm (384-455 H).  Ibn Hazm adalah seorang penyair sufi yang banyak menggubah puisi-puisi cinta yang dihimpun dalam sebuah antologi “Permata Seorang Dara”, berisi gambaran aspek-aspek percintaan dari pengalamannya sendiri dan penggalaman orang lain. Kedua orang sastrawan terkemuka itu sempat menyaksikan keruntuhan Khilafah Umayyah II dan meratapi Istana Cordova ketika dilanda kehancuran.[68]
Dalam bidang musik dan seni suara, indikasi kemajuannya adalah berdirinya sekolah musik di Cordova  oleh Ziryab, seorang maula dari Irak yang nama aslinya adalah Hasan ibn Nafi. Keahliannya dalam seni musik dan tarik suara, pengaruhnya masih membekas sampai sekarang, bahkan ia dianggap sebagai peletak dasar dari musik Spanyol modern. Tidak diingkari, baik oleh sarjana Barat maupun Timur, bahwa orang Arab pula yang memperkenalkan not: do, re, mi, fa. Sol, la, si. Bunyi-bunyi itu diambil dari huruf-huruf Arab: Dal, Ra, Mim, Fa', Shad, Lam, Sin.[69]
4.  Perkembangan Tata Pemerintahan dan Kemiliteran
Sejak pertama kali Islam menginjakkan kakinya di tanah Andalusia hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam memainkan peranan yang sangat besar dalam membangun citra budaya dan peradaban kemanusiaan di wilayah ini. Masa ini berlangsung selama hampir tujuh setengah abad (711-1429 M), yang secara garis besar di bagi menjadi enam periode, sebagaimana yang telah di bahas pada bab pendahuluan.
Yang perlu digaris bawahi di sini adalah, ketika kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad yang berdiri pada tahun 750 M, amir-amir Andalusia yang dulu beraviliasi di bawah sistem kekhalifahan Umayyah I, tidak lagi terikat pada hegemoni politik. Amir-amir wilayah Andalusia dalam kondisi cukup liar, tidak terawasi oleh kekhalifahan pusat. Akan tetapi, proses kepemimpinan umat, terus berlanjut dan penerapan hukum Islam berjalan. Sekalipun amir-amir ini secara de yure mengakui keberadaan sistem kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, tetapi secara de facto dan politis, tidak mau mengikatkan diri pada  pada kekhalifahan baru di Baghdad. Baru pada tahun 755 M ketika Abdur Rahman al-Dakhil berkuasa, ia menghapuskan nama Khalifah Abbasiyah dari khotbah-khotbah Jum'at yang biasa dilakukan oleh gubernur sebelumnya, serta memproklamasikan wilayah itu lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Sekalipun begitu ia menyebut dirinya hanya sebagai “amir al-Mukminin” saja daripada menyebut dirinya sebagai “khalifah”, padahal semuanya pada saat itu serba sangat memungkinkan untuk dilakukannya. Ia tampaknya lebih tertarik pada persoalan substansi dalam melakukan kepemimpinan yang real di tengah-tengah kehidupan umatnya, daripada “sibuk” dengan persoalan penyebutan gelar “khalifah”, sebagai gelar kepemimpinan spiritual yang acap kali dalam kenyataannya terkadang lebih bersifat simbolik saja.[70]
Al-Dakhil berhasil meletakkan sendi dasar yang kokoh bagi tegaknya Dinasti Umayyah II di Andalusia. Gelar amir tetap dipertahankan sampai pada masa pemerintahan Abdur Rahman III (300-350 H/912-961 M) yang memproklamasikan diri sebagai khalifah, dan menambahkan gelar al-Nashir dibelakang namanya.[71] Pada masa al-Nashir inilah Bani Umayyah II mencapai puncak kejayaan dan masih dipertahankan di bawah kepemimpinan Hakam II al-Mustanshir.
Sistem pergantian atau suksesi kepemimpinan di Andalusia tidak jauh berbeda dengan sistem yang berlaku pada masa Dinasti Umayyah I di Damaskus, yakni dengan jalan para amir/khalifah yang sedang berkuasa sudah menunjuk dan menentukan penggantinya. Mereka ini disebut sebagai putra mahkota atau waliyul 'ahdy (pengganti yang dijanjikan). Jika kelak amir/khalifah yang sedang berkuasa ini meninggal dunia, secara langsung ia akan menggantikannya. Tradisi seperti ini, bukan ciptaan tradisi Arab atau Barbar, tapi mungkin berasal dari tradisi Romawi yang biasa disebut monarki absolut. Biasanya dalam tradisi Arab atau Barbar, pemilihan kepala-kepala kabilah atau suku lebih bersifat terbuka dan demokratis.[72]
Ketika Andalusia di pimpin oleh seorang Amir, Amir Andalus sebagai pemerintah pusat di Andalusia yang berkedudukan di Istana Cordova adalah sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang memilki kewenangan sangat besar dan luas. Ia dibantu oleh seorang hajib yang diangkatnya sebagai orang kepercayaan utama, dan bertanggungjawab penuh kepada Amir Andalus ini. Di bawah hajib ada lagi majelis wazir yang berfungsi untuk menangani seluruh urusan teknis kelembagaan/departemen. Dalam hal ini, hajib (perdana mentri)  hanya berfungsi sebagai penghubung antara amir pusat dengan majelis wazir (mentri negara). Wazir-wazir inilah yang berfungsi sebagai tiang-tiang penyangga penyelenggaraan pemerintahan negara.
Adapun pembagian bidang-bidang tugas para wazir saat ini adalah :
1).     wazir yang mengurusi kehartabendaan negara;
2).     wazir yang mengurusi administrasi negara/surat menyurat;
3).     wazir yang mengurusi pengaduan tindakan madzalim/hukum;
4).     wazir yang mengurusi pelabuhan (thuqur), sekarang syahbandr pelabuhan dan perhubungan laut.[73]
 Untuk menjalankan tugas pemerintahan daerah, amir pusat menunjuk seorang gubernur daerah yang disebut wali. Pada saat itu amir Andalusia mempunyai enam wilayah provinsi atau kewalian. Para wali wilayah ini juga dibantu lembaga ketertiban dan keamanan masyarakat yang disebut :
1).     Shahib al-Shurthah, badan yang diberi kewenangan dan bertanggungjawab dalam menangani keamanan dan ketertiban sosial (polisi).
2).     Shahib al-Madzalim, badan yang bertugas menampung berbagai pengaduan dari tindakan kezaliman, seperti penganiayaan dan sebagainya.
3).     Shahib al-Muhtasib, aparatur negara yang bertugas dalam bidang-bidaang pengawasan kesusilaan, perjudian, perdagangan, timbangan dan takaran (meterologi).[74]
Dalam memimpin umatnya, amir di bantu juga oleh seorang Qadhi al-Qadhat (hakim agung) untuk menegakkan hukum di pemerintahan pusat, sedangkan seorang qadhi (hakim) tingkat daerah berwenang dalam menangani persoalan hukum di daerahnya masing-masing. Para qadhi ini ditunjuk oleh amir pusat, dan bertanggung jawab kepada amir melalui qadhi qudhat.[75]
a. Lembaga Peradilan
Lembaga peradilan dalam pemerintahan Islam (khalifah) di Andalusia ini menempati posisi sangat penting, bahkan dapat dikatakan hampir sebanding dengan kewenangan khalifah sendiri dalam memberikan dan menetapkan keputusan-keputusan; keputusan politik ada pada khalifah, sedangkan keputusan hukum ada di tangan para hakim (qadhi).
Secara umum, baik pada masa keamiran maupun kekhalifahan Umayyah II di Andalusia, menjadi seorang qodhi telah dinggap sebagai jabatan karier yang cukup tinggi di negeri ini. Kewenangan kebijakannya sangat independen, tidak terikat sama sekali dengan kepentingan para amir atau khalifahnya. Secara moral, para amir atau khalifah tidak berani mengatur keputusan hukum, kecuali kepada para hijabat dan wizarat-nya, di mana seluruh kewenangannya selama ini berada langsung di bawah kendali amir/khalifah.
b. Tugas Kelembagaan Negara Masa Kekhalifahan di Andalusia
1.    Qadhi al-Jama'ah, lembaga ini mempunyai tugas penting dalam mengurusi hukum di pemerintahan pusat, terutama dalam haal persoalan pencatatan waris, wasiat, wakaf, imam harian dan dua shalat 'Id di Masjid Agung Cordova, serta menjadi saksi dan penengah dalam menangani berbagai pertikaian dan mencatat isu-isu perkaranya.
2.    Shahib al-Syurthah, yakni qadhi yang mengurus masalah-masalah politik dan kriminal serta masalah-masalah sosial lainnya.
3.    Muhtasib, lembaga ini tugas pokoknya adalah melayani berbagai kepentingan umum, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut amar ma'ruf nahi munkar.
4.    Hijabat dan Wizarat. Kedua lembaga ini sama dengan pada masa keamiran.
5.    Militer.
Pada masa Hisyam II, beliau membagi angkatan perangnya menjadi dua, pertama, angkatan darat (al-jaisy) yang terdiri dari pasukan bersenjata pedang dan tombak yang disebut musyat, pasukan rumat (para pemanah), pasukan fursan atau kavaleri (para penunggang kuda, berbaju besi dan berpedang). Kedua, angkatan laut yang dijadikan tulang punggung kekuatan negara karena secara geografis wilayah Andalusia dikelilingi oleh lautan. Adapun struktur militer pada masa itu sebagai berikut :
1.   Tiap lima ribu tentara (al-jaisy) dipimpin oleh seorang amir (panglima) dengan simbol bendera sebagai lambang batalion, royyat.
2.   Dari masing-masing lima ribu tentara, dibagi dalam masing-masing seribu pasukan yang disebut kutaibah, dengan panji-panji bernama 'alam, masing-masing dipimpin oleh seorang qo'id (komandan).
3.   Setiap seribu personil (kutaibah) dibagi lima, masing-masing dua ratus personil yang diberi nama al-qism dengan panji-panji yang bernama al-liwa', dipimpin oleh seorang naqib sebagai komandannya.
4.   Tiap-tiap dua ratus personil (al-qism) dibagi lima kelompok lagi dengan masing-masing berjumlah empat puluh orang (al-qism) dengan panji-panji yang diberi nama al-bundan, dan dipimpin oleh seorang 'arif sebagai komandannya.
5.   Dari tiap-tiap empat puluh orang personel yang dipimpin seorang 'arif, dibagi lagi ke dalam lima kelompok dengan masing-masing berjumlah delapan orang dengan panji-panji bernama al-ukdah, di bawah pimpinan seorang nazir sebagai komandannya.[76]
Demikian gambaran umum pranata kemiliteran yang berkembang pada masa Dinasti Umayyah II di Andalusia. Struktur organisasinya sudah terbentuk sedemikian rapi dan jelas. Pengaturan seperti ini sebenarnya telah berkembang sejak masa Umar bin Khattab yang mulai menyerap sistem kemiliteran Romawi.
Dan sebagai akhir dari bab pembahasan ini, perlu disampaikan bahwa, kemajuan pesat yang diraih umat Islam Andalusia - khusunya dalam pembangunan ilmu pengetahuan dan kebudayaan -  merupakan sebuah proses panjang yang didukung oleh faktor kerja sama yang baik antara para sarjana dan intelektual Muslim dengan didukung oleh kebijakan pemerintah serta kemampuan ekonomi serta semangat keberagamaan dan persaudaraan yang kuat. Dari Andalusia inilah ilmu pengetahuan dan peradaban Arab mengalir ke negara-negara Eropa Kristen, melalui kelompok-kelompok terpelajar mereka yang pernah menuntut ilmu di Universitas Cordova, Malaga, Granada, Sevilla atau lembaga-lembaga ilmu pengetahuan lainnya di Andalusia dengan demikian besar sekali peranan Andalusia dalam mengantarkan Eropa memasuki periode baru masa kebangkitan.
III.    ANALISIS
Ketika kita membicarakan mengenai sejarah peradaban Islam di Andalusia, maka akan kita temukan bahwa Andalusia di bawah kekuasaan Islam mengalami kemajuan yang pesat dan menajadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan sehingga menjadi tujuan pencari ilmu di abad pertengahan. Andalusia merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam menyerap ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam di sana serta peradabannya, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Andalusia di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya  di Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains, di samping bangunan fisik.
Dari Andalusia kita juga menemukan pelajaran berharga, bahwa tidak sepatutnya kita membuat dikotomi antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama. Karena pada prinsipnya semua ilmu bersumber dari Allah. Seorang sejarawan pada masa Bani Umayyah II di Andalusia bisa menjadi ahli Fiqh, ahli bahasa, theolog, dokter, ahli filsafat dan sebagainya. Sains yang didukung dengan agama akan menjadikan dunia ini menjadi tentram dan damai, karena sains dipergunakan seluruhnya untuk kemaslahatan manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Ilmuwan atau pun cendekiawan yang taat beragama tidak akan mungkin melakukan mal-praktek dalam bidang pekerjaan yang digelutinya. Dokter muslim tidak akan pernah mau melakukan aborsi, yang tidak dibenarkan syari'at, berapapun imbalan yang akan diperolehnya. Sebaliknya sains yang kering dari unsur agama akan dapat menciptakan ketakutan dan kegelisahan bagi manusia. Kasus teknologi untuk pembuatan senjata pemusnah massal, baik nuklir maupun senjata kimia, klonning bagi manusia, serta yang lagi marak sekarang ini kejahatan cyber serta segala bentuk penyalahgunaannya, adalah sekian contoh sains yang telah “bercerai” dengan agama.
Hal penting yang perlu digaris bawahi adalah bahwa perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan filsafat pada masa itu tidak terlepas kaitannya dari kerjasama yang harmonis antara penguasa, hartawan dan ulama. Perkembangan teknologi, kedokteran serta arsitektur bangunan dapat berkembang dengan cepat dan dahsyat berkat dukungan penuh dari penguasa dan adanya peran serta masyarakat, serta di dukung dengan terciptanya keamanan, kepastian hukum, ekonomi yang stabil serta kesejahteraan dan kemakmuran di tengah-tengah masyarakat. Sejarah telah mencatat, bahwa ketika Abdur Rahman III berkuasa, dia telah menciptakan ketentraman di Cordova dan mewariskan kondisi amat berkembang. Sepertiga dari penerimaan tahunan yang berjumlah 6.245.000[77] keping emas cukup untuk menutupi anggaran belanja negara, selebihnya di peruntukan bagi keperluan pengembangan pertanian, industri, dan perdagangan. Penerimaan dari ekspor dan impor menempati kedudukan tertinggi dalam anggaran penerimaan negara setiap tahunnya.
Pada waktu Islam masuk ke Andalusia/Spanyol, seluruh Eropa sangat terbelakang di bidang ilmu dan teknologi serta kebudayaan. Islamlah yang membawa ilmu dan teknologi dalam berbagai disiplin ilmu ke Spanyol yang kemudian berkembang ke seluruh Eropa. Orang Islamlah yang memelopori membuat irigasi untuk berbagai keperluan, termasuk pertanian, mengembangkan arsitektur bangunan yang sekarang terkenal sebagai arsitektur “gaya Spanyol”, dan memelopori arsitektur pertamanan yang sangat indah dan mengagumkan. Orang Islam pulalah yanag dikenal sebagai pelopor merancang kota modern, atau “metropolitan” sekarang ini. Kota Cordova, contoh kota paling baik dan lengkap di seluruh dunia kala itu. Penduduknya diperkirakan 500.000 jiwa, dengan 21 buah kota satelit. Terdapat lebih kurang 3.000 masjid dan puluhan perpustakaan. Di malam hari, kota Cordova terang benderang dengan banyaknya lampu jalan. Bayangkanlah kota-kota besar seperti London dan Paris pada waktu itu, belum mengenal lampu penerang jalan.
Di zaman kejayaan Islam, universitas-universitas di Andalusia seperti Universitas Cordova, Universitas Sevilla dan lain-lain merupakan pusat ilmu pengetahuan dunia. Terdapat para ahli terkemuka di berbagai bidang ilmu pengetahuan; kedokteran, matematika, botani, ilmu falak, sastra dan sebagainya. Para mahasiswanya berdatangan dari seluruh Eropa untuk belajar di universitas-universitas Islam tersebut.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemajuan peradaban Islam di Andalusia antara lain :
1.   Hubungan yang harmonis antara penguasa, hartawan dan ulama.
2.   Adanya figur pemimpin yang dapat mempersatukan umat Islam di Andalusia dan memiliki perhatian yang serius terhadap kemajuan peradaban Islam dan ilmu pengetahuan. Seperti Abdur Rahman II (ad-Dakhil), Abdur Rahman II (an-Nashir) dan Hakam II.
3.   Terciptanya stabilitas keamanan, dan kepastian hukum.
4.   Ekonomi yang stabil serta adanya kesejahteraan dan kemakmuran di tengah-tengah masyarakat Andalusia.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran peradaban Islam di Andalusia antara lain :
1.   Terjadinya perebutan kekuasaan dan adanya beberapa wilayah yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan Bani Umayyah II di Andalusia.
2.   Tidak adanya figur pemimpin yang mampu mempersatukan umat Islam serta memiliki sikap leadership yang baik dan kuat pasca kepemimpinan al-Mansyur.
3.   Pengangkatan penguasa Islam di Andalusia tidak didasarkan pada kualitas pribadi, tetapi berdasarkan hubungan keluarga dengan penguasa sebelumnya (monarki absolut).
4.   Umat Kristen di Andalusia bersatu untuk merebut kembali Andalusia dari tangan umat Islam.
Mengungkap kembali kejayaan dan kebesaran Islam dengan segala gemerlap pesona keemasan kebudayaannya tidak dimaksudkan agar umat Islam terbuai dan terlena dalam mimpi dan nina bobo ayunan masa silam. Sebab bagaimanapun kejayaan masa silam itu telah lama berakir. Telah menjadi bagian dari sejarah. Mengungkap kembali kebesaran dan kejayaan kebudayaan Islam di masa silam tak lain dimaksudkan agar umat Islam mempunyai kesadaran masa lalu, kesadaran kultural, yang dapat dipakai sebagai jembatan dalam membangun kembali pilar-pilar budaya masa kini dan masa depan. Merenungi dan menghayati kembali kebesaran Islam dimasa silam dimaksudkan untuk mengambil hikmah bahwa kejayaan dan kebesaran Islam pada masa lalu itu idak diperoleh secara kebetulan, melainkan merupakan hasil usaha yang dilakukan secara giat, rajin, tekun dan ulet oleh para sarjana Islam. Al-Nashir yang telah berhasil mengantarkan Andalusia ke puncak kejayaan, menurut pernyataannya, mengalami kebahagiaan hanya 14 hari selama hidupnya.[78]
Dengan mengungkap kembali masa keemasan Islam di Andalusia, diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran dan kepercayaan diri bahwa umat umat Islam pada masa jayanya pernah menjadi bangsa inventor dan kreator dalam membangun peradaban umat manusia yang tidak akan pernah ada yang dapat mengungguli bahkan menyamainya. Sehingga umat Islam sekarang ini diharapkan mampu mengikis kemalasan berfikir dan berkreasi, sehingga akan lahirlah cendekiawan-cendekiawan muslim yang mampu berfikir ilmiyah dengan tetap berlandaskan diniyah.
Apa yang harus dikerjakan oleh umat Islam dewasa ini agar menjadi golongan yang terrbaik dari manusia ? Al-Qur'an telah menunjukkan sekaligus memberi motivasi bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu umat jika umat itu sendiri tidak bangkit mengubah dan membangun nasibnya sendiri. Firman Allah dalam QS. Ar-Ra’du: 11
3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ  
Artinya : “ Sesungguhnya Allah tidak akan merobah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki  keburukan terhadap suatu  kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya  dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.[79]
Al-Qur'an telah memberi motivasi kepada umat Islam untuk mencari kebahagiaan hidup di akhirat dengan tanpa melalaikan kebahagiaan di dunia. Firman Allah dalam QS. Al-Qashash : 77
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù š9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šøs9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
Artinya :Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.[80]
Ini berarti bahwa bekerja dan berusaha untuk membangun kebudayaan dan peradaban yang maju, baik dan lestari merupakan tugas setiap umat Islam, disamping harus berusaha untuk memperoleh kebahagiaan hidup di akhirat nanti.
II.       PENUTUP
Sejak pertama kali Islam menginjakkan kakinya di tanah Spanyol hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana sekitar tujuh setengah abad lamanya, umat Islam telah  mengalami kemajuan yang pesat dan menajadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan sehingga menjadi tujuan pencari ilmu di abad pertengahan. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya telah membawa Eropa dan kemudian dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks.
Kemajuan ilmu pengetahuan, filasafat dan seni bahasa dan sastra, tidak lepas dari adanya  kerja sama yang harmonis antara penguasa, ulama dan hartawan serta peran serta dari masyarakat. Sedangkan kemajuan dalam bentuk bangunan fisik merupakan hasil kreasi dan inovasi para sarjana muslim yang didukung dengan terciptanya keamanan dan kesejahteraan masyarakat yang terjamin.
Akhirnya, pemakalah berharap semoga makalah ini dapat menjadi secercah cahaya untuk mengungkap masa kejayaan dan kebesaran Islam dalam rangka mengambil hikmah untuk kebesaran Islam yang akan datang. Karena sebagai seorang muslim, adalah menjadi kewajiban bagi kita untuk kembali membawa umat Islam untuk menjadi golongan yang terbaik dari umat manusia.













DAFTAR PUSTAKA

As-Siba'i, Mustafa. Kebangkitan Kebudayaan Islam. terj. Nabhan Husein. Jakarta: Media Dajwah, 1987.
Beg, M. Abdul Jabbar. (editor), Seni di Dalam Peradaban Islam, Bandung: Pustaka, 1988.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1-30 Edisi Baru, Surabaya, Mekar Surabaya, 2004.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, Jilid I. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 1997.
Harun, Lukman.  Potret Dunia Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
Ismail, Faisal. Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis. Editor : Mathori Alwustho. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.
Karim, M. Abdul.  Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Maryam dkk. Siti. Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta:  LESFI, 2004.
Nata, Abuddin. (Ed.). Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Sunanto, Musyrifah.  Sejarah Islam Klasik (Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam). Jakarta: Prenada Media, 2003.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Suwito,  et al., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media.  2005.
Syarif, M.M. Para Filosof Muslim. editor: Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1998.
Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.




[1] M. Abdul Jabbar Beg., M.A., Ph.D. (editor), Seni di Dalam Peradaban Islam, Bandung, Pustaka, 1988, hal. 120.
[2] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. (Ed.), Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 257.
[3] Prof. Dr. Suwito, MA. et al., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta,  Prenada Media,  2005, hal. 111.
[4] Lihat : Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, Jakarta, Rajawali Pers, 2008, hal. 93-99.
[5] Siti Maryam, dkk., Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta,  LESFI,  2004, hal. 79.
[6] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Book Publisher, 2007, hal. 227.
[7] Ibid., hal. 228.
[8] Siti Maryam, dkk., Op.Cit.
[9] Dr. Badri Yatim, M.A., Op.Cit., hal. 88.
[10]                       Dedi Supriyadi, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2008, hal. 118.
[11] Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 80.
[12] Dedi Supriyadi, M.Ag., Op.Cit.
[13] Siti Maryam, dkk., Op.Cit.
[14] Ibid., hal. 80-81.
[15]  Dr. Badri Yatim, M.A., Op.Cit., hal. 87.
[16]  Dedi Supriyadi, M.Ag., Op.Cit, hal. 120.
[17] Maman A. Malik Sya'roni dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Peradaban Islam Masa Bani Umayyah II di Andalusia” menyebut golongan ini dengan nama golongan Slavia (lihat : Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 83).
[18]  Dr. Badri Yatim, M.A., Op.Cit., hal. 100-101.
[19]  Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 84.
[20]              Prof. Dr. Suwito, MA. et al., Op.Cit., hal. 113.
[21]              Ibid., hal. 112.
[22]              Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 86-87.
[23]  Prof. Dr. Suwito, MA. et al., Op.Cit., hal. 113.
[24]              Dr. Faisal Ismail, MA., Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis, Editor : Mathori Alwustho, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1997, hal. 234.
[25]              Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 91.
[26]              Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam), Jakarta, Prenada Media, 2003, hal. 125.
[27]              Dr. Badri Yatim, M.A., Op.Cit., hal. 103.
[28]              Siti Maryam, dkk., Op.Cit.
[29]              Ibid., hal. 92
[30]              Ibid.
[31]              Dr. Badri Yatim, M.A., Op.Cit., hal. 101.
[32]              Lebih  lanjut mengenai Ibnu Sina dan pemikirannya, baca : M.M. Syarif, M.A, Para Filosof Muslim, editor: Ilyas Hasan, Bandung, Mizan, 1998, hal. 101- 144.
[33]                      Ibid., hal. 145.  
[34]                      Ibid., hal. 145-146.
[35]                      Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 92.
[36]                      Mustafa As-Siba'i, Kebangkitan Kebudayaan Islam, terj. Nabhan Husein, Jakarta, Media Dajwah, 1987, hal. 90.
[37]                      Dr. Badri Yatim, M.A., Op.Cit., hal. 102.
[38]                      Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 93-94.
[39]                      Dr. Faisal Ismail, MA., Op.Cit., hal. 220-221.
[40]                      Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 94.
[41]              Ibid., hal. 94-95.
[42]              Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 95.
[43]              Ibid., hal. 96.
[44]                      Mustafa As-Siba'i, Op.cit., hal. 274.
[45]                      Dr. Faisal Ismail, MA., Op.Cit., hal. 226.
[46]                      Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 84.
[47]                      Dedi Supriyadi, M.Ag., Op.Cit, hal. 123.
[48]                      Dr. Faisal Ismail, MA., Op.Cit., hal. 235..
[49]              Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 84.
[50]              Lukman Harun, Potret Dunia Islam, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1985, hal. 161.
[51]              Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 84-85.
[52]                      Lukman Harun, Op.Cit., hal. 160-161.
[53]                      Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 86.
[54]                      Ibid., hal 86-87.
[55]                      Ibid., hal 87.
[56]                      Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hal. 275.
[57]                      Lukman Harun, Op.Cit., hal. 162.
[58]                      Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 87.
[59]                      Dr. Badri Yatim, M.A., Op.Cit., hal. 104.
[60]                      Siti Maryam, dkk., Op.Cit.
[61]                      Lukman Harun, Op.Cit., hal. 163.
[62]                      Siti Maryam, dkk., Op.Cit., Hal. 88.
[63]                      Dr. Badri Yatim, M.A., Op.Cit., hal. 103.
[64]                      Siti Maryam, dkk., Op.Cit.
[65]                      Dedi Supriyadi, M.Ag., Op.Cit, hal. 121-122.
[66]                      Siti Maryam, dkk., Op.Cit.
[67]                      Ibid., hal. 89.
[68]                      Ibid., hal. 90.
[69]                      Ibid., hal 91.
[70]              Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 61.
[71]              Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 81.
[72]              Ajid Thohir, Op.Cit., hal. 65.
[73]                      Ibid., hal. 69.
[74]                      Ibid., hal. 69-70..
[75]                      Ibid., hal. 69.
[76] Ibid., hal. 77-78.
[77]  Lihat : Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit., hal. 275.
[78]  Lihat : Siti Maryam, dkk., Op.Cit., hal. 87.
[79] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1-30 Edisi Baru, Surabaya, Mekar Surabaya, 2004, hal. 337-338.
[80] Ibid., hal. 556.