Falsafah Dibalik Tembang “Gundul-Gundul Pacul”
Dalam menghadapi kehidupan yang semakin tidak menentu ini, ada baiknya kalau kita mencoba merenung, menggali kembali ajaran-ajaran bijak generasi pendahulu kita yang sangat berguna bagi kehidupan masyarakat sekarang ini. Ajaran-ajaran bijak generasi pendahulu salah satunya adalah falsafah Jawa.
Jika kita berbicara mengenai Jawa, di dalamnya mengulas serta memberikan gambaran (patuladhan) yang menurut ajaran budaya Jawa semuanya harus dituangkan dengan Sasmita Semu (teka-teki). Artinya, segala ajaran dan petuah tidak ditunjukkan atau disampaikan secara nyata (konkret) istilah Jawanya blaka suta. Oleh karena itu ajaran kejawen tidak dapat langsung dicerna begitu saja. Harus dijabarkan secara pratitis. Kajian mengenai kejawen dalam perspektif relasi antara manusia dan dunia serta cosmos dituangkan dalam beberapa konsep. Begitu pula dengan hukum pinasthi guna, pembuktian hukum pepastian yang berlaku atas kehendak Hyang Widhi sesukanya.
Kehidupan bagi orang Jawa adalah gambaran urip/panguripan yang terdapat dalam lahir dan batin merupakan suatu kenyataan yang tak terpisahkan. Eksistensi Hyang Widhi tergambar dalam alam pikir “ana tan ana” yang kemudian menjadi pengertian Sangkan Paraning Dumadi. Saat menggambarkan kehidupan, orang Jawa memberi gambaran watak seperti lakon dalam dunia pewayangan. Parameter moral budaya Jawa yang tidak jelas karena bergantung konteks penggunaannya. Untuk memahami watak orang Jawa kita tidak dapat menggunakan penilaian dari budaya lain. Watak orang Jawa mempunyai keunikan yang bersifat sebagai relativisme Jawa yang Pluralis moralitas dengan budaya lain.
Filsafat Jawa dengan pembahasan falsafah Jawa dasar dimulai dari falsafah dari tembang dolanan. Tembang “Gundul-Gundul Pacul” dan “Lir-Ilir” sudah tidak asing lagi bagi telinga orang Jawa pada khususnya. Dua lagu tersebut kelihatan sangat sepele padahal jika ditelusuri secara mendalam, dua lagu itu memiliki makna yang sangat luas. Landasan Tembang Jawa ini diciptakan tahun 1400 an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya yang masih remaja dan mempunyai arti filosofis yang sangat dalam dan sangat mulia.
Lirik Lagu "Gundul-gundul Pacul"
Gundul-gundul pacul cul gembelengan
Nyunggi-nyunggi wakul kul gembelengan
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar
Makna
Gundul adalah kepala plonthos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang. Maka gundul artinya kehormatan yang tanpa mahkota.
Pacul adalah cangkul yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat.Pacul adalah lambang kawula rendah yang kebanyakan adalah petani.
Gundul Pacul artinya bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Orang Jawa mengatakan pacul adalah papat kang ucul (empat yang lepas). Artinya bahwa: kemuliaan seseorang akan sangat tergantung empat hal bagaimana menggunakan mata, hidung, telinga dan mulutnya.
1. Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat.
2. Telinga digunakan untuk mendengar nasehat.
3. Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan.
4. Mulut digunakan untuk berkata-kata yang adil. Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya.
Gembelengan artinya, besar kepala, sewenang-wenang. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dirinya sesungguhnya mengemban amanah rakyat. Tetapi dia malah:
1. Menggunakan kekuasaannya sebagai kemuliaan dirinya.
2. Menggunakan kedudukannya untuk. berbangga-bangga di antara manusia.
3. Dia menganggap kekuasaan itu karena kepandaiannya.
Nyunggi wakul, gembelengan Nyunggi wakul artinya membawa bakul (tempat nasi) di kepalanya. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dia mengemban amanah penting membawa bakul dikepalanya. Wakul adalah simbol kesejahteraan rakyat.Kekayaan negara, sumberdaya, Pajak adalah isinya. Artinya bahwa kepala yang dia anggap kehormatannya berada di bawah bakul milik rakyat. Kedudukannya di bawah bakul rakyat. Siapa yang lebih tinggi kedudukannya, pembawa bakul atau pemilik bakul? Tentu saja pemilik bakul. Pembawa bakul hanyalah pembantu si pemiliknya, dan banyak pemimpin yang masih gembelengan (melenggak lenggokkan kepala dengan sombong dan bermain-main).
Akibatnya wakul ngglimpang segane dadi sak latar, Bakul terguling dan nasinya tumpah ke mana-mana.
Jika pemimpin gembelengan, maka sumber daya akan tumpah ke mana-mana. Dia tak terdistribusi dengan baik. Kesenjangan ada dimana-mana. Nasi yang tumpah di tanah tak akan bisa dimakan lagi karena kotor. Maka gagallah tugasnya mengemban amanah rakyat.
copy dari link: (http://lapmics.blogspot.co.id/2013/10/falsafah-dibalik-tembang-gundul-gundul.html)
No comments:
Post a Comment